Media Ilmu Mahasiswa al Akhwal al Syakhsiyyah UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.
"Empu"nya Blog
Salam
Blog ini Dibuat oleh Azim Izzul Islami (08350013) dan Ahmad Saihu (06350065),,Mahasiswa Jurusan al-Akhwal al-Syakhsiyyah Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta sebagai Tugas/Proyek Mata Kuliah Ilmu Falak I..
Harapan ke Depan,Blog ini tidak sekedar berbagi Info tentang Falak saja,,namun bisa menjadi Sarana bagi seluruh Mahasiswa Syariah dalam menuntut Ilmu Seputar Hukum Islam.
Wassalam...
Blog ini Dibuat oleh Azim Izzul Islami (08350013) dan Ahmad Saihu (06350065),,Mahasiswa Jurusan al-Akhwal al-Syakhsiyyah Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta sebagai Tugas/Proyek Mata Kuliah Ilmu Falak I..
Harapan ke Depan,Blog ini tidak sekedar berbagi Info tentang Falak saja,,namun bisa menjadi Sarana bagi seluruh Mahasiswa Syariah dalam menuntut Ilmu Seputar Hukum Islam.
Wassalam...
Ini KampusQ.....
Sabtu, 19 November 2011
Tata Koordinat Astronomi
Koordinat Horison (Alt-Azimuth)
Seperti apa sebenarnya koordinat ini, dan apa bedanya dengan koordinat ekuatorial? Berikut pembahasannya.Koordinat alt-azimuth adalah menentukan posisi benda langit yang hanya berlaku secara lokal di sekitar pengamat saja. Nama koordinat ini ditentukan dari dua kata yang didefinisikan sebagai penentu posisi benda, yaitu altitud (disingkat alt) dan azimuth. Istilah-istilah penting lainnya yang digunakan dalam koordinat ini adalah horison, zenith, dan nadir.
Horison adalah bidang datar yang menjadi pijakan pengamat, yang menjadi batas antara belahan langit yang dapat diamati dengan yang tidak dapat diamati. Apabila kita berada di tengah-tengah laut, kita akan melihat horison ini sebagai pertemuan antara langit dengan permukaan laut. Kemudian zenith adalah sebuah titik khayal di langit yang berada tepat di atas pengamat. Sedangkan nadir adalah kebalikan dari zenith, yaitu sebuah titik yang berada di bawah pengamat. Kedua titik ini terletak tegak lurus terhadap horison.
Bagaimana menentukan posisi sebuah bintang menurut koordinat alt-azimuth ini? Altitud (a) menunjukkan ketinggian bintang dari horison. Apabila sebuah bintang baru terbit atau tenggelam, ketinggiannya dari horison adalah 0 derajat. Dan bintang yang berada di zenith memiliki altitud 90 derajat. Azimuth (A) menyatakan sudut yang dibentuk antara bintang dengan titik utara atau selatan. Pengamat yang berada di belahan bumi utara menghitung azimuth bintang dari titik utara ke arah timur (searah putaran jarum jam). Sedangkan pengamat yang berada di belahan bumi selatan menghitung azimuth bintang dari titik selatan ke arah timur (berlawanan arah putaran jarum jam). Besarnya azimuth adalah dari 0 derajat hingga 360 derajat.
Sebagai contoh, untuk pengamat yang berada di Semarang (selatan khatulistiwa), sebuah bintang yang berada 45 derajat di atas titik utara memiliki azimuth 180 derajat. Sedangkan bagi pengamat yang ada di Aceh misalnya, bintang yang berada 45 derajat di atas titik utara memiliki azimuth 0 derajat (Lihat juga gambar di bawah).

Sementara kekurangan sistem koordinat ini adalah bahwa, seperti yang sudah saya sebutkan di atas, koordinat alt-azimuth hanya berlaku lokal (di sekitar pengamat) saja. Ketinggian dan azimuth sebuah bintang pada saat yang sama akan memiliki nilai yang berbeda jika dilihat dari tempat yang jauh. Misalkan seorang pengamat di Semarang ingin memberitahukan sebuah objek yang ditemukannya kepada pengamat lain di Bandung dengan memberikan koordinat alt-azimuth objek tersebut, maka pengamat di Bandung akan kesulitan menemukan objek yang dimaksud.
Koordinat Langit Ekuatorial
Jika kita melihat sebuah komet di langit, bagaimana cara kita memberitahu teman kita di tempat lain untuk melihat komet yang sama? Jika kita ingin pergi ke rumah teman, pasti kita tanyakan alamatnya bukan? Begitu juga dengan komet di langit, beserta bintang-bintang, galaksi dan bermacam objek lainnya, mereka semua memiliki “alamat” tertentu yang tidak mungkin kembar satu sama lain. Alamat yang dimaksud di sini adalah koordinat. Ya, semua benda langit bisa kita cari asalkan kita mengetahui koordinatnya. Jadi, teman kita pasti bisa menemukan komet yang kita maksud.
Seperti apa koordinat yang digunakan untuk mengenali objek langit? Namanya adalah koordinat langit. Terdapat setidaknya tiga macam koordinat langit, yaitu koordinat alt-azimuth, ekuatorial, dan galaktik. Untuk tulisan kali ini, koordinat ekuatorial yang akan dibahas. Yang lainnya akan dibahas nanti.
Koordinat ekuatorial ini dibuat dengan cara membayangkan sebuah bola langit yang memiliki ekuator dan kutub yang sejajar dengan ekuator dan kutub bumi. Itulah mengapa koordinat ini disebut dengan koordinat ekuatorial.
Bola langit
Sama seperti bumi, koordinat langit ini ditentukan berdasarkan dua sumbu atau titik asal. Jika di bumi digunakan lintang yang dihitung dari ekuator dan bujur yang dihitung dari Greenwich, maka koordinat langit memiliki deklinasi [delta] yang dihitung dari ekuator langit dan asensiorekta (right ascension ? ) yang dihitung dari titik ?/aries (vernal equinox) yang didefinisikan sebagai titik perpotongan antara ekuator dengan ekliptika (bidang orbit bumi terhadap matahari).
Bola langit ekuatorial
Deklinasi dihitung 0 derajat untuk ekuator, positif hingga 90 derajat ke arah kutub utara langit, dan negatif hingga -90 derajat ke arah kutub selatan langit. Sedangkan asensiorekta dihitung berlawanan arah jarum jam hingga 24 jam (360 derajat) dengan 0 jam di titik aries. Untuk memperjelas, jika titik aries ada di meridian (garis yang menghubungkan kutub utara dengan kutub selatan melewati zenith), maka RA dihitung ke timur.
Deklinasi dan asensiorekta
Dalam koordinat ini, semua benda langit terbit dan tenggelam mengikuti lintasan yang sejajar dengan ekuator langit. Jadi apabila kita berada di Semarang misalnya, dengan lintang sekitar 6 derajat di selatan, ilustrasi bola langitnya dapat dilihat pada gambar. Untuk kasus ketika kita berada di Kutub Utara misalnya, maka kita akan dapat melihat bintang-bintang yang tidak tenggelam sepanjang hari, yang disebut juga sebagai bintang circumpolar atau bintang kutub.
Gerak harian bintang
Jadi, apabila kita mau mengamati objek yang redup (tidak mudah dilihat dengan mata) menggunakan teleskop, dengan mengetahui koordinat objek tersebut dan dengan melakukan kalibrasi pada teleskop kita, mencari objek manapun akan terasa lebih mudah
Pro Kontra Ilmu Hisab – Perhitungan Astronomi
PRO HISAB
Hisab menurut bahasa adalah perhitungan. Para ulama menaruh perhatian pada teori hisab dalam menentukan awal dan akhir bulan Ramadhan, waktu shalat, arah kiblat dan gerhana bulan maupun gerhana matahari
Nabi muhammad SAW bersabda
عن ابن عمرعن رسول الله عليه وسلم قال اذارايتمو فصوموا واذا رايتموه فافطروا فان غم عليكم فقدروله (رواه البخاري ومسلم والنسائى وابن ماجه)
“Dari Ibnu Umar, dari rasulullah SAW sabdanya : Apabila kamu melihat bulan Ramadhan, hendaklah kamu berpuasa, dan apabila kamu melihat bulan syawal hendaklah kamu berbuka. Maka jika tertutup antara kamu dan tempat terbit bulan, maka hendaklah kamu kira-kirakan bulan itu.” (HR Bukhari Muslim Nasai dan Ibnu Majah)
Kata beberapa ulama, di antaranya Ibnu Syuraidi Mutarrif dan Ibnu Qutaibah, bahwa yang dimaksud dengan kira-kira ialah dihitung dengan hitungan ilmu Falak (ilmu bintang). [1] Firman Allah SWT QS Yunus: 5
“Dia-lah yang menjadikan matahari bersinar dan bulan bercahaya dan ditetapkan-Nya manzilah-manzilah (tempat-tempat) bagi perjalanan bulan itu, supaya kamu mengetahui bilangan tahun dan perhitungan (waktu). Allah tidak menciptakan yang demikian itu melainkan dengan hak. dia menjelaskan tanda-tanda (kebesaran-Nya) kepada orang-orang yang Mengetahui.”
Disamping itu ilmu Hisab telah banyak digunakan oleh umat Islam dalam menentukan waktu shalat lima waktu dalam bentuk jadwal shalat abadi yang disusun oleh para ahli hisab. Agama Islam telah menentukan waktu satu persatu dari shalat lima waktu sesuai dengan perubahan Alam yang diakibatkan perjalanan matahari tiap-tiap tahun seperti Shalat subuh ketika terbitnya fajar dll, dengan kemajuan ilmu pengetahuan maka para ulama ahli hisab dapat menyesuaikan waktu Shalat dengan jam yang dipakai oleh masyarakat (WIB) guna mempermudah untuk melakukan amalan ibadah shalat lima waktu.
Dengan adanya ilmu hisab ini para umat Islam tidak perlu repot-repot melihat matahari (rukyah) ketika akan menentukan waktu shalat tetapi cukup dengan melihat jadwal shalat (hisab) yang telah disusun oleh para ahli ilmu Falak.
Dengan uraian di atas maka sebagian ulama membolehkan penentuan awal bulan dengan menggunkan hisab dengan alasan, keduanya (Puasa dan Shalat) adalah sama-sama waktu ibadah, keduanya (Puasa dan Shalat) juga dihitung dengan ilmu falak yang sama-sama bertujuan untuk mencari persesuaian dengan waktu yang ditentukan oleh syara’
Oleh karena alasan-alasan di atas maka para ulama’ ahli fiqih sepakat bahwa untuk memastikan hari pertama dan terakhir bulan Ramadhan dapat dilakukan dengan dua cara, yakni melalui rukyah dan melalui hisab. [2] Hal ini di karenakan kedua metode ini mempunyai dasar yang kuat dan didukung dengan dalil yang sama-sama shahih.
KONTRA HISAB
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memberikan bimbingan dalam menentukan awal bulan Hijriyyah dalam hadits-haditsnya, di antaranya, yang berarti: “Dari Ibnu ‘Umar, bahwa Rasululloh Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan Romadhon, maka beliau mengatakan: ‘Janganlah kalian berpuasa sehingga kalian melihat hilal dan janganlah kalian berbuka (berhenti puasa dengan masuknya syawwal, -pent.) sehingga kalian melihatnya. Bila kalian tertutup oleh awan maka hitunglah’.” (HR: Al-Bukhari dan Muslim, Hadits Shohih)
Dan hadits yang semacam ini cukup banyak, baik dalam Shahih Al-Bukhari dan Muslim maupun yang lain. Kata-kata فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَاقْدُرُوا لَهُ (Bila kalian tertutup oleh awan maka hitunglah) menurut mayoritas ulama bermadzhab Hanbali, ini dimaksudkan untuk membedakan antara kondisi cerah dengan berawan. Sehingga didasarkannya hukum pada penglihatan hilal adalah ketika cuaca cerah, adapun mendung maka memiliki hukum yang lain. Menurut jumhur (mayoritas) ulama, artinya: “Lihatlah awal bulan dan genapkanlah menjadi 30 (hari).”
Adapun yang menguatkan penafsiran semacam ini adalah riwayat lain yang menegaskan apa yang sesungguhnya dimaksud. Yaitu sabda Nabi yang telah lalu (maka sempurnakan jumlah menjadi 30) dan riwayat yang semakna. Yang paling utama untuk menafsirkan hadits adalah dengan hadits juga. Bahkan Ad-Daruquthni meriwayatkan (hadits) serta menshahihkannya, juga Ibnu Khuzaimah dalam Shahih-nya dari hadits Aisyah, yang artinya: “Dahulu Rasululloh sangat menjaga Sya’ban, tidak sebagaimana pada bulan lainnya. Kemudian beliau puasa karena ru`yah bulan Romadhon. Jika tertutup awan, beliau menghitung (menggenapkan) 30 hari untuk selanjutnya berpuasa.” (Dinukil dari Fathul Bari karya Ibnu Hajar)
Oleh karenanya, penggunaan hisab bertentangan dengan Sunnah Nabi dan bertolak belakang dengan kemudahan yang diberikan oleh Islam.
Sebuah pertanyaan diajukan kepada Al-Lajnah Ad-Da`imah atau Dewan Fatwa dan Riset Ilmiah Saudi Arabia: Apakah boleh bagi seorang muslim untuk mendasarkan penentuan awal dan akhir puasa pada hisab ilmu falak, ataukah harus dengan ru`yah (melihat) hilal?
..
Jawabannya: …Alloh Subhanahu wa Ta’ala tidak membebani kita dalam menentukan awal bulan Qomariyah dengan sesuatu yang hanya diketahui segelintir orang, yaitu ilmu perbintangan atau hisab falak.
Padahal nash-nash Al-Kitab dan As-Sunnah yang ada telah menjelaskan, yaitu menjadikan ru`yah hilal dan menyaksikannya sebagai tanda awal puasa kaum muslimin di bulan Ramadhan dan berbuka dengan melihat hilal Syawal. Demikian juga dalam menetapkan Iedul Adha dan hari Arafah. Alloh Subhanahu wa Ta’ala berfirman, yang artinya: “…Maka barangsiapa di antara kalian menyaksikan bulan hendaknya berpuasa.” (QS: Al-Baqarah: 185)
Dan Alloh Subhanahu wa Ta’ala berfirman, yang artinya: “Mereka bertanya tentang hilal-hilal. Katakanlah, itu adalah waktu-waktu untuk manusia dan untuk haji.” (QS: Al-Baqarah: 189)
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, yang artinya: “Jika kalian melihatnya, maka puasalah kalian. Jika kalian melihatnya maka berbukalah kalian. Namun jika kalian terhalangi awan, sempurnakanlah menjadi 30.”
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjadikan tetapnya (awal) puasa dengan melihat hilal bulan Ramadhan dan berbuka (mengakihiri Ramadhan) dengan melihat hilal Syawal. Sama sekali Nabi tidak mengaitkannya dengan hisab bintang-bintang dan orbitnya (termasuk rembulan, -pent.). Yang demikian ini diamalkan sejak zaman Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, para Khulafa` Ar-Rasyidin, empat imam, dan tiga kurun yang Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam persaksikan keutamaan dan kebaikannya.
Oleh karena itu, menetapkan bulan-bulan Qomariyyah dengan merujuk ilmu bintang dalam memulai awal dan akhir ibadah tanpa ru`yah adalah bid’ah, yang tidak mengandung kebaikan serta tidak ada landasannya dalam syariat….” (Fatwa ini ditandatangani oleh Asy-Syaikh Abdurrazzaq Afifi, Asy-Syaikh Abdullah bin Mani’, dan Asy-Syaikh Abdullah bin Ghudayyan. Lihat Fatawa Ramadhan, 1/61)
Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullahu berkata: “Tentang hisab, tidak boleh beramal dengannya dan bersandar padanya.” (Fatawa Ramadhan, 1/62)
Tanya: Sebagian kaum muslimin di sejumlah negara, sengaja berpuasa tanpa menyandarkan pada ru`yah hilal dan merasa cukup dengan kalender. Apa hukumnya?
Asy-Syaikh Abdul ‘Aziz bin Baz menjawab: “Sesungguhnya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan kaum muslimin untuk (mereka berpuasa karena melihat hilal dan berbuka karena melihat hilal maka jika mereka tertutup olah awan hendaknya menyempurnakan jumlahnya menjadi 30) -Muttafaqun alaihi-
Asy-Syaikh Abdul ‘Aziz bin Baz menjawab: “Sesungguhnya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan kaum muslimin untuk (mereka berpuasa karena melihat hilal dan berbuka karena melihat hilal maka jika mereka tertutup olah awan hendaknya menyempurnakan jumlahnya menjadi 30) -Muttafaqun alaihi-
Dan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, yang artinya: “Kami adalah umat yang ummi, tidak menulis dan tidak menghitung. Bulan itu adalah demikian, demikian, dan demikian.” –beliau menggenggam ibu jarinya pada ketiga kalinya dan mengatakan–: “Bulan itu begini, begini, dan begini –serta mengisyaratkan dengan seluruh jemarinya–Beliau maksudkan dengan itu bahwa bulan itu bisa 29 atau 30 (hari). Dan telah disebutkan pula dalam Shahih Al-Bukhari dari Abu Hurairah bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, yang artinya: “Puasalah kalian karena melihatnya dan berbukalah karena melihatnya. Jika kalian tertutupi awan hendaknya menyempurnakan Sya’ban menjadi 30 (hari).”
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda, yang artinya: “Jangan kalian berpuasa sehingga melihat hilal atau menyempurnakan jumlah. Dan jangan kalian berbuka sehingga melihat hilal atau menyempurnakan jumlah.”
Masih banyak hadits-hadits dalam bab ini. Semuanya menunjukkan wajibnya beramal dengan ru`yah, atau menggenapkannya jika tidak memungkinkan ru`yah. Ini sekaligus menjelaskan tidak bolehnya bertumpu pada hisab dalam masalah tersebut.
Ibnu Taimiyyah telah menyebutkan ijma’ para ulama tentang larangan bersandar pada hisab dalam menentukan hilal-hilal. Dan inilah yang benar, tidak diragukan lagi. Alloh Subhanahu wa Ta’ala-lah yang memberi taufiq. (Fatawa Shiyam, hal. 5-6)
[1] Sulaiman Rasjid, Fiqh Islam, (Jakarta: Attahiriyah 1976), hlm. 219
[2] Dewan redaksi. Insiklopedi Islam, Jil.IV, (Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hoeve, 1994 ), Hlm. 180
Kesimpulan dan saran :
- Masalah Pro dan Kontra tentang Hisab adalah faktor keyakinan, jadi tidak ada yang salah dan tidak ada yang benar untuk masalah ini, semua punya landasan hukum sendiri-sendiri
- Bangsa Mesir dan Arab adalah penemu Aljabar, bahkan pada masa kuno perhitungan astronomi sudah sangat terkenal, tapi pada masa modern perhitungan astronomi dikuasai oleh bangsa barat yang non muslim
- Para Kontra Hisab, belum konsisten dalam masalah rukyah. Rukyah hendaknya dilaksanakan tiap bulan, bukan pada momen-momen tertentu saja dan kadang kala masih digunakannya hisab pada sholat lima waktu.
- Rukyah tidak akan dapat digunakan untuk menentukan waktu gerhana bulan dan gerhana matahari, padahal di situ ada sholat gerhana.
- Dengan berkembangnya teknologi, hisab hendaknya tidak dilakukan secara manual (tabel dan kalkulator) tapi penggunaan pemrograman komputer akan memperkecil nilai kesalahan.
- Rukyat dan Hisab bukan satu-satunya cara untuk mengetahui bulan. Penggunaan satelit akan membantu kedua paham tersebut.
- Kolaborasi antara Rukyat dan Hisab akan lebih baik jika hanya menggunakan paham itu sendiri-sendiri. Rukyat tiap bulan untuk memperbaiki perhitungan hisab. Perhitungan hisab dengan test kebenaran dengan rukyat.
- Tidak ada ilmu manusia (hisab) yang sempurna kecuali ilmu Tuhan, suatu teori yang saat ini dianggap paling bagus, kemungkinan suatu saat pasti akan terbantahkan jika ditemukan suatu teori yang lebih bagus.
- Memperkuat perhitungan hisab selain untuk ibadah umat muslim sendiri, juga akan memperkuat intelektual muslim sehingga menjadi terkenal seperti jaman dulu.
Demikian kesimpulan dan saran yang kuambil dari masalah pro dan kontra masalah hisab ini. Kesimpulan dan saran itu merupakan benar-benar dari pemikiran seorang yang tidak paham masalah dalil-dalil Al-Quran dan hadist yang ingin permasalahan pro kontra hisab ini segera berakhir dan bisa lebih diterapkan pada persaingan untuk menjadikan umat muslim lebih intelektual.
Semoga umat muslim lebih dikenal dengan aljabar dan teori-teori matematikanya dibanding dengan istilah teroris-nya oleh umat non muslim
amien…..
Senin, 14 November 2011
Signifikansi, Peranan dan Kegunaan Ilmu Falak
Pentingnya Mempelajari Ilmu Falak dan Hisab Rukyat
Bagaimana hukum seseorang mempelajari ilmu falak ? hukumnya adalah fardlu áin. Sedangkan bagi masyarakat hukumnya adalah fardlu kifayah.
Pentingnya adalah untuk mengetahui arah dan waktu-waktu ibadah sbb :
1. Dimana arah kiblat, ketika akan mengerjakan shalat.
2. Kapan waktu shalat yang lima dapat dikerjakan.
3. Kapan memulai dan mengakhiri ibadah puasa atau Idul Fitri 1 Syawal.
4. Kapan memulai menunaikan ibadah haji, wukuf di padang arafah, puasa sunah arafah, idul Adha, mabit, waktu melontar jumrah.
5. Kapan mengerjakan shalat sunnah gerhana bulan dan matahari.
6. Kapan mengeluarkan zakat maal, dan lain-lain.
Peranan Ilmu Falak dan Hisab Rukyat
a. Tanpa Ilmu Falak, umat Islam akan kesulitan dalam penentuan arah kiblat. Dengan mengetahui ilmu tersebut, orang Islam dapat menentukan arah kiblat secara mudah, benar, tepat dan akurat. Baik dengan menggunakan alat kompas, theodolit, GPS dan bayang-bayang matahari. Mengetahui arah kiblat yang tepat menambah kenyakinan dalam beribadah.
b. Tanpa Ilmu Falak, umat Islam akan kesulitan menentukan awal waktu shalat, apalagi kalau terjadi mendung dan hujan. Dengan mudah cukup menggunakan jadwal waktu shalat yang telah diprogram dibuat jadwal dan disesuaikan dimana tempat dipermukaan bumi ini.
c. Tanpa Ilmu Falak, umat Islam akan kesulitan melakukan rukyatul hilal, dan menentukan awal bulan qamariyah khususnya awal Ramadhan, Syawal dan Dzulhijjah. Dimana daerah yang mengalami banyak awan, mendung dan curah hujan yang tinggi akan kesulitan menentukannya. Dengan Ilmu Hisab Hakiki Kontemporer, pelaksanaan rukyatul hilal dan penetapan awal bulan qamariyah akan mudah ditentukan dengan tetap dan akurat.
d. Tanpa Ilmu Falak, umat Islam akan kesulitan melaksanakan shalat sunnah gerhana bulan dan matahari. Dengan Ilmu Hisab, gerhana dapat diperidiksikan jauh-jauh hari sampai tahun yang dikehendaki atau sampai habis umur kehidupan manusia.
Kegunaan Ilmu Falak dan Hisab Rukyat
a. Untuk menentukan arah kiblat dan bayang-bayang arah kiblat surau, mushalla, masjid, dan lapangan shalat Ied
b. Untuk membuat jadwal waktu shalat di seluruh permukaan bumi
c. Untuk melakukan rukyatul hilal awal bulan qamariyah
d. Untuk penentuan penetapan awal bulan qamariyah teruma awal bulan Ramadhan, Syawal dan Dzulhijjah.
e. Untuk membuat kalender Hijriyah dan Miladiyah.
f. Untuk mengetahui peristiwa kelahiran, kematian dan peristiwa-peristiwa lainnya.
g. Untuk menghitung khaul zakat maal.
h. Untuk membuat terjadinya peristiwa gerhana bulan dan matahari
i. Dengan mengetahui arah dan waktu-waktu ibadah secara mudah benar, tepat dan akurat, semuanya untuk menambah kenyakinan dalam beribadah, serta hanya litatmainna al-qulub dan litadabbur al ayatillah.
Sejarah Pekembangan Ilmu Falak di Indonesia
Abstrak
Menarik untuk mencoba membahas sejarah perkembangan ilmu Falak di Indonesia. Perkembangan awal ilmu Falak di Nusantara adalah diadopsinya sistem penanggalan hijriah ke dalam penanggalan Jawa yang dilakukan oleh sultan Agung. Menguraikan transmisi keilmuan Falak sampai ke Nusantara. Menggambarkan bentuk pengembangan dan interaksinya dengan perkembangan ilmu pengetahuan terutama astronomi. Serta momentum bagi kajian-kajian ilmu Falak seperti penentuan awal waktu salat, arah kiblat, awal bulan Kamariah, dan gerhana untuk reaktualisasi. Perkembangan ilmu Falak di Indonesia tidak selalu bersifat linier antara perkembangan sains dengan realita yang terjadi pada masa itu. Dengan asumsi bahwa pada pertengahan abad ke-20 metode hisab Hakiki Tahqiqi akan berkembang dengan pesat menggantikan teori lama yang telah gugur secara ilmiah; dan metode hisab Hakiki Taqribi mulai ditinggalkan orang. Tapi kenyataannya tidak seperti demikian. Metode hisab Hakiki Taqribi tetap memiliki pengikut fanatiknya bahkan sampai dengan sekarang ini, misalnya kasus metode Sullamun Nayyiran.
Kata Kunci: Sejarah, Ilmu Falak, ibadah
PendahuluanMenarik untuk mencoba membahas sejarah perkembangan ilmu Falak di Indonesia. Perkembangan awal ilmu Falak di Nusantara adalah diadopsinya sistem penanggalan hijriah ke dalam penanggalan Jawa yang dilakukan oleh sultan Agung. Menguraikan transmisi keilmuan Falak sampai ke Nusantara. Menggambarkan bentuk pengembangan dan interaksinya dengan perkembangan ilmu pengetahuan terutama astronomi. Serta momentum bagi kajian-kajian ilmu Falak seperti penentuan awal waktu salat, arah kiblat, awal bulan Kamariah, dan gerhana untuk reaktualisasi. Perkembangan ilmu Falak di Indonesia tidak selalu bersifat linier antara perkembangan sains dengan realita yang terjadi pada masa itu. Dengan asumsi bahwa pada pertengahan abad ke-20 metode hisab Hakiki Tahqiqi akan berkembang dengan pesat menggantikan teori lama yang telah gugur secara ilmiah; dan metode hisab Hakiki Taqribi mulai ditinggalkan orang. Tapi kenyataannya tidak seperti demikian. Metode hisab Hakiki Taqribi tetap memiliki pengikut fanatiknya bahkan sampai dengan sekarang ini, misalnya kasus metode Sullamun Nayyiran.
Kata Kunci: Sejarah, Ilmu Falak, ibadah
Dalam makalah ini mungkin belum dapat dirumuskan secara sistematis tentang sejarah perkembangan ilmu Falak di Indonesia. Hal ini karena dari buku-buku ilmu Falak yang telah ditulis oleh berbagai kalangan ahli dan praktisi ilmu Falak sampai sekarang belum banyak yang mengulasnya secara memadai. Namun akan berusaha diungkapkan poin-poin penting dalam perkembangan ilmu Falak di Indonesia.
Untuk mengungkapkan sejarah perkembangan ilmu Falak di Indonesia perlu penelitian tentang bagaimana transmisi keilmuan Falak sampai ke Nusantara. Literatur awal yang diajarkan dan bagaimana perkembangannya. Hal ini untuk memetakan jaringan ulama Falak Nusantara.
Sebagai sebuah sains yang dikembangkan oleh umat Islam tentulah ilmu Falak mengalami perkembangan sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan. Akan dibahas juga bagaimana ahli Falak—yang sebagiannya adalah dari kalangan ulama di pondok-pondok pesantren dalam mengikapi persoalan tersebut. Dalam pengembangan kajian ilmu Falak ini terdapat momentum-momentum yang menjadi tahapan penting bagi perkembangannya. Di antara momentum-momentum itu yang penulis anggap signifikan untuk diungkap antara lain:
1.Perubahan arah kiblat masjid keraton Jogjakarta oleh KH Ahmad Dahlan,
2.KH Turaichan Adjhuri yang berbeda dalam penetapan awal bulan Kamariah dengan pemerintah dan menyerukan untuk menyaksikan peristiwa gerhana matahari di kala pemerintah melarang hal tersebut,
3.Kisah “kecelakaan” ilmu Falak secara akademik dengan dikeluarkannya mata kuliah ilmu Falak dari Kurikulum PTAI tahun 1995,
4.Yang paling belakangan adalah peristiwa yang terjadi di tahun 2008 dan 2009 lalu; Hasil Penelitian lembaga Rukyatul Hilal Indonesia (RHI) tentang banyaknya arah kiblat masjid di Jogjakarta yang melenceng.
5. Dan Majalah Qiblati yang menggugat jadwal awal waktu salat Subuh yang ditetapkan Pemerintah lebih dahulu dari yang seharusnya.
Di bagian akhir, penulis memberikan beberapa catatan tentang perkembangan ilmu Falak Indonesia.
Sejarah Awal Perkembangan Ilmu Falak di Indonesia
Pembahasan tentang ilmu Falak terkait dengan persoalan ibadah. Ini karena bahasan utama dalam kajian ilmu Falak adalah penentuan awal waktu salat, arah kiblat, awal bulan Kamariah, dan gerhana. Sebagai bagian dari kegiatan ibadah, ilmu Falak tentu saja masuk ke Indonesia beriringan dengan masuknya agama Islam ke Indonesia. Berbicara tentang sejarah perkembangan awal ilmu Falak di Indonesia secara keilmuan masih belum diungkap secara memadai.
Pembicaraan tentang sejarah awal perkembangan ilmu Falak di Indonesia di dalam buku-buku ilmu Falak hampir sama saja. Rata-rata mereka menyatakan bahwa perkembangan awal ilmu Falak di Nusantara adalah diadopsinya sistem penanggalan hijriah ke dalam penanggalan Jawa yang dilakukan oleh sultan Agung. Pada tahun 1625 Masehi, Sultan Agung yang berusaha keras menyebarkan agama Islam di pulau Jawa dalam kerangka negara Mataram mengeluarkan dekrit untuk mengubah penanggalan Saka. Sejak saat itu kalender Jawa versi Mataram menggunakan sistem kalender kamariah atau lunar (http://id.wikipedia.org/wiki/Kalender_Jawa).[2]
Penanggalan Islam; penanggalan hijriah ini diasumsikam secara umum digunakan oleh kerajaan-kerajaan Islam di Nusantara sejak zaman meeka berdaulat penuh. Penanggalan ini digunakan sebagai penanggalan resmi kerajaan-kerajaan tersebut. Namun setelah datangnya penjajahan Belanda di Nusantara pada abad ke-16, Belanda mengganti penanggalan tersebut dengan penanggalan masehi. Penaggalan masehi inilah yang digunakan untuk administrasi pemerintahan dan penanggalan resmi (BHR, 1981: 22).
Kajian Keilmuan Ilmu Falak Nusantara
Tahapan perkembangan ilmu Falak di Nusantara dapat diklasifikasikan sebagai berikut:
1. Pengaruh Ulugh Beik (w. 1449 M) dengan tabel Zeij Sulthaninya
Sejarah tentang perkembangan ilmu Falak sebagai sebuah keilmuan yang mandiri di Indonesia dimulai pada awal abad ke-20. Dalam perhitungan awal bulan Kamariah misalnya, sebelum abad ke-20, di dunia Islam umumnya berkembang metode hisab yang belakangan diidentifikasi sebagai metode hisab Hakiki Taqribi. Perhitungannya masih berpatokan pada asumsi Bumi sebagai pusat peredaran Bulan dan Matahari; yang disebut dengan Geosentris.
Perhitungan awal bulan yang dilakukan menggunakan tabel-tabel astronomi yang dirumuskan oleh Ulugh Beik (w. 1449 M) yang biasanya disebut Zeij Sulthani. Tabel astronomi Ulugh Beik ini merupakan penemuan yang sangat berharga pada masa itu. Tabel ini telah digunakan bahkan juga oleh para astronom di Barat selama berabad-abad lamanya.
Setelah Nicolas Copernicus (1473-1543 M) menemukan teori Heliosentris, bahwa Mataharilah pusat tata surya (bukan Bumi sebagaimana yang diyakini sebelumnya). Penemuan ini tentu saja akan berpengaruh terhadap metode dan rumus ilmu Falak atau astronomi yang selama ini digunakan. Awalnya tdak mudah untuk menentang doktrin yang diyakini gereja, namun pada tahapan selanjutnya teori ini mendapat dukungan secara ilmiah dari ilmuan setelahnya. Pembaharuan yang digulirkan inipun kemudian sampai ke Indonesia. Diperkirakan baru sampai ke Indonesia pada pertengahan abad ke-20.
Dalam sejarah perkembangan modern ilmu Falak di Indonesia pada awal abad ke-20, ditandai dengan penulisan kitab-kitab ilmu Falak oleh para ulama ahli Falak Indonesia. Seiring kembalinya para ulama yang telah berguru di Mekah pada awal abad ke-20, ilmu Falak mulai tumbuh dan berkembang di tanah air. Ketika berguru di tanah suci, mereka tidak hanya mempelajari ilmu-ilmu agama seperti: tafsir, hadis, fiqh, tauhid, tasawuf, dan pemikiran yang mendorong umat Islam yang pada masa itu rata-rata di bawah belenggu kolonialisme untuk membebaskan diri, melainkan juga membawa catatan tentang ilmu Falak. Kemudian proses transfer knowledge ini berlanjut kepada para murid mereka di tanah air (Khazin, 2008: 28-29).
Dengan semangat menjalankan dakwah islamiah, di antara para ulama ada yang baerdakwah ke berbagai daerah yang baru. Pada dekade itu misalnya, Syekh Abdurrahman ibn Ahmad al-Mishra (berasal dari Mesir) pada tahun 1314H/1896M datang ke Betawi. Ia membawa Zeij (tabel astronomi) Ulugh Beik (w. 1449 M) yang masih mendasarkan teorinya pada teori Geosentris. Ia kemudian mengajarkannya pada para ulama di Betawi pada waktu itu. Di antara muridnya adalah Ahmad Dahlan as-Simarani atau at-Tarmasi (w. 1329H/1911M) dan Habib Usman ibn Abdillah ibn ‘Aqil ibn Yahya yang dikenal dengan Mufti Betawi.
Lalu Ahmad Dahlan as-Simarani atau at-Tarmasi mengajarkannya di daerah Termas (Pacitan) dengan menyusun buku Tazkirah al-Ikhwan fi Ba’dhi Tawarikhi A’mal al-Falakiyah bi Semarang yang selesai ditulis pada 1321 H/1903M. Sedang Habib Usman ibn Abdillah ibn ‘Aqil ibn Yahya tetap mengajar di Betawi. Ia menulis buku Iqazhu an-Niyam fi ma Yata’allaq bi ahillah wa ash-Shiyam dicetak pada 1321H/1903M. Buku ini di samping memuat masalah ilmu Falak, juga terdapat di dalamnya tentang masalah puasa (Khazin, 2008: 29). Adapun pemikirannya tentang ilmu Falak kemudian dibukukan oleh salah seorang muridnya Muhammad Manshur bin Abdul Hamid bin Muhammad Damiri bin Muhammad Habib bin Abdul Muhit bin Tumenggung Tjakra Jaya yang menulis kitab Sullamun Nayyiran dicetak pertama kali pada 1344H/1925M. Itulah kitab-kitab yang dihasilkan oleh ulama Falak nusantara pada priode awal ini. Kitab Sullamun Nayyiranlah paling dikenal dari karya ulama Falak pada masa ini dan masih banyak dipelajari sampai sekarang.
Sementara tokoh Falak yang menonjol di daerah Sumatera adalah Thahir Djalaluddin dan Djamil Djambek. Thahir Djalaluddin dengan karyanya Pati Kiraan Pada Menentukan Waktu yang Lima diterbitkan pada 1357H/1938M, dan Natijah al-Ummi The Almanac: Muslim and Christian Calendar and Direction of Qiblat according to Shafie Sect dicetak pada 1951. Tokoh lainnya Djamil Djambek dengan karyanya Almanak Djamiliyah dan Diya’al Niri fi ma Yata’allaq bi al-Kawakib (Azhari, 2007: 10). Tokoh Falak Nusantara yang hidup pada masa itu yang bersinar antara lain Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi, Ahmad Rifa’I, dan KH Sholeh Darat (Azhari, 2007: 10).
2. Pengaruh Mathla’ as-Sa’id fi Hisab al-Kawakib ‘ala Rashd al-Jadid dan al-Manahij al-Hamidiyah.
Pada priode kedua, ditandai dengan kuatnya pengaruh kitab Mathla’ as-Sa’id fi Hisab al-Kawakib ‘ala Rashd al-Jadid karangan Husen Zaid al-Mishra dan al-Manahij al-Hamidiyah karangan Abd al-Hamid Mursy Ghais al-Falaki asy-Syafi’i. Kedua kitab tersebut dibawa oleh mereka yang menunaikan ibadah haji setelah menyempatkan diri untuk belajar di tanah suci. Menurut M. Taufik bahwa kitab ilmu Falak yang ditulis oleh ulama Falak nusantara pada priode kedua ini banyak yang merupakan cangkokan dari kedua kitab tersebut. Di antara kitab-kitab karangan ulama Nusantara tersebut adalah kitab al-Khulashah al-Wafiyah karya Zubair Umar al-Jailani yang dicetak pertam kalinya pada 1354H/ 1935M, buku Ilmu Falak dan Hisab dan buku Hisab Urfi dan Hakiki karya K Wardan Dipo Ningrat yang dicetak pada 1957, al-Qawa’id al-Falakiyah karya Abd al-Fatah as-Sayyid ath-Thufi al-Falaki, dan Badi’ah al-Mitsal karya Ma’shum Jombang (w 1351H/1933M) (Murtadho, 2008: 29).
Sebagian kitab-kitab ilmu Falak karya para ulama Indonesia, yang selain menjadikan al-Mathla’ as-Sa’id fi Hisbah al-Kawakib ‘Ala Rasd al-Jadid dan al-Manahij al-Hamidiyah sebagai rujukan utamanya juga merujuk karya ulama Indonesia sebelum mereka (yang telah mempelajari dan mencangkok kitab al-Mathla’ as-Sa’id fi Hisbah al-Kawakib ‘Ala Rasd al-Jadid dan al-Manahij al-Hamidiyah),–yang merupakan kitab yang dipelajari guru mereka sendiri ataupun guru dari guru mereka. Di antaranya adalah Almanak Menara Kudus karya Turaikhan Adjhuri, Nur al-Anwar karya Noor Ahmad SS Jepara yang dicetak pada 1986, al-Maksuf karya Ahmad Soleh Mahmud Jauhari Cirebon, Ittifaq Dzat al-Bain karya Muhammad Zuber Abdul Abdul Karim Gresik.
3. “Perkawinan” Ilmu Falak dan Astronomi
Pembahasan tentang sejarah perkembangan ilmu Falak modern Indonesia tak lepas dari peran Saadoe’ddin Djambek. Ia lahir di Bukittinggi pada tanggal 24 Maret 1911 M/ 1330 H. ia wafat di Jakarta pada tanggal 22 November 1977 M/11 Zulhijjah 1397 H. Ia merupakan seorang guru serta ahli hisab dan rukyat, putra ulama besar Syekh Muhammad Djamil Djambek (1860-1947 M/1277-1367 H) dari Minangkabau (http://bimasislam.depag.go.id).
Ia mulai tertarik mempelajari ilmu hisab pada tahun 1929 M/1348 H. Ia belajar ilmu hisab dari Syekh Taher Jalaluddin, yang mengajar di Al-Jami’ah Islamiah Padang tahun 1939 M/1358 H. Pertemuannya dengan Syekh Taher Jalaluddin membekas dalam dirinya dan menjadi awal pembentukan keahliannya di bidang penanggalan. Untuk memperdalam pengetahuannya, ia kemudian mengikuti kursus Legere Akte Ilmu Pasti di Yogyakarta pada tahun 1941-1942 M/1360-1361 H serta mengikuti kuliah ilmu pasti alam dan astronomi pada FIPIA (Fakultas Ilmu Pasti dan Ilmu Alam) di Bandung pada tahun 1954-1955 M/1374-1375 H (http://bimasislam.depag.go.id).
Keahliannya di bidang ilmu pasti dan ilmu Falak dikembangkannya melalui tugas yang dilaksanakannya di beberapa tempat. Pada tahun 1955-1956 M/1375-1376 H menjadi lektor kepala dalam mata kuliah ilmu Pasti pada PTPG (Perguruan Tinggi Pendidikan Guru) di Batusangkar, Sumatra Barat. Kemudian ia memberi kuliah ilmu Falak sebagai dosen tidak tetap di Fakultas Syari’ah IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta (1959-1961 M/1379-1381 H). Sebagai ahli ilmu Falak, ia banyak menulis tentang ilmu Hisab. Di antara karyanya adalah : (1) Waktu dan Djadwal Penjelasan Populer Mengenai Perjalanan Bumi, Bulan dan Matahari (diterbitkan oleh Penerbit Tintamas tahun 1952 M/1372 H), (2) Almanak Djamiliyah (diterbitkan oleh Penerbit Tintamas tahun 1953 M/1373 H), (3)Perbandingan Tarich (diterbitkan oleh penerbit Tintamas pada tahun 1968 M/1388 H), (4) Pedoman Waktu Sholat Sepanjang Masa (diterbitkan oleh Penerbit Bulan Bintang pada tahun 1974 M/1394 H), (5) Sholat dan Puasa di daerah Kutub (diterbitkan oleh Penerbit Bulan Bintang pada tahun 1974 M/1394 H) dan (6) Hisab Awal bulan Qamariyah (diterbitkan oleh Penerbit Tintamas pada tahun 1976 M/1397 H) (http://bimasislam.depag.go.id).
Karya yang terakhir ini; Hisab Awal bulan Qamariyah merupakan pergumulan pemikirannya yang akhirnya merupakan ciri khas pemikirannya dalam hisab awal bulan Kamariah (http://bimasislam.depag.go.id). Ia lah yang meletakkan dasar perhitungan awal bulan Kamariah menggunakan hisab yang berdasarkan pada ilmu astronomi di Indonesia.
Satu lagi kontribusi Sa’adoeddin Djambek adalah dalam penentuan koordinat geografis Ka’bah. Sewaktu melaksanakan ibadah haji, ia melakukan pengukuran koordinat geografis Ka’bah. Ia menyatakan bahwa koordinat geografis Ka’bah adalah lintang (Φ) 21° 25’ LU dan bujur (λ) 39° 50’ BT.
Jaringan keilmuan Sa’adoeddin Djambek ini diteruskan oleh muridnya. Di antara muridnya adalah Abdul Rachim dan A Mustadjib. Karya Abdul Rachim antara lain Ilmu Falak yang dicetak pada 1983, Perhitungan Awal Bulan dan Gerhana Matahari system Newcomb.
Selanjutnya jajaran ulama yang berkiprah dalam mengembangan ilmu Falak pada priode ini antara lain: Taufik. Ia dan putranya menyusun Win Hisab versi 2.0 pada tahun 1998. Hak lisensinya pada badan Hisab dan Rukyat Depag RI. Win Hisab ini dikenal juga dengan Sistem Ephemeris (Khazin, 2008: 36-37).
Perbedaan dalam ber-Idul Fitri pada tahun 1993, 1993 dan 1994 medatang berkah tersendiri bagi perkembangan ilmu Falak Indonesia. Dengan lahirnya software-software Falak yang praktis dari para ahli Falak. Sofware Falak itu antara lain: Mawaqit oleh ICMI Korwil Belanda pada tahun 1993; yang disempurnakan menjadi Mawaqitt versi 2002 oleh Khafid, program falakiyah Najmi oleh Nuril Fuad tahun 1995, program Astinfo oleh jurusan Astronomi ITB pada tahun 1996, dan program Badiah al-Mitsal tahun 2000, Ahillah, Misal, Pengetan dan Tsaqib oleh Muhyiddin Khazin pada tahun 2004 (Khazin, 2008: 37).
Klasifikasi Metode Falak
Departemen Agama telah mencoba melakukan pengklasifikasian kitab-kitab ilmu Falak karya ulama Indonesia terkait dengan perhitungan penetapan awal bulan Kamariah tersebut ke dalam beberapa kategori sesuai dengan tingkat akurasi penghitunganya. Secara garis besar perhitungan hisab rukyat awal bulan itu ada dua, yakni hisab Urfi dan Hakiki. Kemudian hisab hakiki yang didasarkan pada peredaran bulan yang sebenarnya ini dibagi lagi menjadi tiga tingkatan. Pertama, hisab Haqīqī Taqrībī, kitab yang tingkat akurasi penghitungannya rendah. Kedua, hisab Ңaqīqī bi at-Tahqīqī, kitab yang tingkat akurasi penghitungannya sedang dan ketiga, hakiki kontemporer, kitab yang tingkat akurasi penghitungannya tinggi. Pemilahan ini dalam forum seminar sehari ilmu Falak tanggal 27 April 1997 di Tugu, Bogor, Jawa Barat (Izzuddin, 2006: 135-136).
Dalam sistem hisab Urfi berdasarkan pada perhitungan rata-rata dari peredaran Bulan mengelilingi Bumi. Perhitungan secara Urfi ini bersifat tetap, umur bulan itu tetap setiap bulannya. Bulan yang ganjil; gasal berumur tiga puluh hari sedangkan bulan yang genap berumur dua puluh sembilan hari. Dengan demikian bulan Ramadan sebagai bulan kesembilan (ganjil) selamanya akan berumur tiga puluh hari (Anwar, Almanak_Hijriah.pdf – Adobe Reader:

Biasanya untuk memudahkan dan kepentingan praktis perhitungan dalam pembuatan kalender Kamariah dibuat secara Urfi. Kalender Kamariah Urfi didasarkan pada peredaran Bulan mengelilingi Bumi dalam orbitnya dengan masa 29 hari, 12 jam, 44 menit, 2,8 detik setiap satu bulannya. Rentang waktu tersebut adalah rentang waktu dari konjungsi (ijtimak) ke konjungsi berikutnya. Dengan perkataan lain, rentang waktu antara posisi titik pusat Matahari, Bulan, dan Bumi berada pada bidang kutub ekliptika yang sama. Rentang waktu itu disebut dengan satu bulan/month. Dengan demikian, perhitungan kalender Kamariah di mulai dari menghitung awal bulan atau bulan baru/ new month (Fathurohman 2006).
Kalender ini terdiri 12 bulan, dengan masa satu tahun 354 hari, 8 jam, 48 menit, 35 detik. Itu berarti lebih pendek 10 hari, 21 jam (sekitar 11 hari) dibanding dengan kalender Masehi dalam setiap tiga puluh tahunnya. Masa satu tahun sama dengan 354 hari, 8 jam, 48 menit, 35 detik yang kalau kita sederhanakan dapat dikatakan bahwa satu tahun itu sama dengan 354 11/30 hari. Dalam siklus 30 tahun, akan terjadi 11 tahun Kabisah yang berumur 355 hari dan sebagai tambahan satu hari ditempatkan pada bulan Zulhijah (bulan Zulhijahnya berumur 30 hari). Sedangkan 19 tahun sisanya merupakan tahun Basitah yang berumur 354 hari. Dengan demikian jumlah hari dalam masa 30 tahun = 30 x 354 hari + 11 hari = 10631 hari, yang diistilahkan dengan satu daur (Taqwim Hijriyah, hhtp://afdacairo. blogspot.com). Sistem hisab ini tak ubahnya seperti Kalender Miladiah (Syamsiah), bilangan hari pada tiap-tiap bulan berjumlah tetap kecuali bulan tertentu pada tahun-tahun Kabisah tertentu jumlahnya lebih panjang satu hari.
Menurut Susiknan Azhari dan Ibnor Azli Ibrahim (pdf – Adobe Reader: 136-137 ) penanggalan berdasarkan hisab Urfi memiliki karakteristik:
1. awal tahun pertama Hijriah (1 Muharam 1 H) bertepatan dengan hari Kamis tanggal 15 Juli 622 M;
2. satu periode (daur) membutuhkan waktu 30 tahun;
3. dalam satu periode/ 30 tahun terdapat 11 tahun panjang (kabisat) dan 19 tahun pendek (basitah). Untuk menentukan tahun kabisat dan basitah dalam satu periode biasanya digunakan syair:
كف الخليل كفه ديا نه * عن كل خل حبه فصانه
Tiap huruf yang bertitik menunjukkan tahun kabisat dan huruf yang tidak bertitik menunjukkan tahun basitah. Dengan demikian, tahun-tahun kabisat terletak pada tahun ke 2, 5, 7, 10, 13, 15, 18, 21, 24, 26, dan 29[3];
4. penambahan satu hari pada tahun kabisat diletakkan pada bulan yang kedua belas/ Zulhijah;
5. bulan-bulan gasal umurnya ditetapkan 30 hari, sedangkan bulan-bulan genap umurnya 29 hari (kecuali pada tahun kabisat bulan terakhir/ Zulhijah ditambah satu hari menjadi genap 30 hari);
6. panjang periode 30 tahun adalah 10.631 hari (355 x 11 + 354 x 19 = 10.631). Sementara itu, periode sinodis bulan rata-rata 29,5305888 hari selama 30 tahun adalah 10.631,01204 hari (29,5305888 hari x 12 x 30 = 10.631,01204).
7. perhitungan berdasarkan hisab Urfi ini biasanya dijadikan sebagai ancar-ancar sebelum melakukan perhitungan penanggalan ataupun perhitungan awal bulan berdasarkan hisab Hakiki. Bila tanpa melakukan perhitungan sebelumnya secara Urfi tentulah para ahli Falak tersebut akan mengalami kesulitan.
Sistem kalender Islam; kalender Hijriah yang dapat dijadikan acuan dalam hal ibadah adalah kalender yang berdasarkan perhitungan atau hisab Hakiki. Hisab Hakiki adalah sistem hisab yang didasarkan pada peredaran Bulan dan Bumi yang sebenarnya. Berikut ini kita akan melihat beberapa konsep yang terkait dengan penanggalan Islam yang berdasarkan hisab Hakiki:
1. Umur Bulan
Menurut sistem ini umur bulan tidaklah konstan (tetap) dan tidak pula tidak beraturan, tapi bergantung posisi hilal setiap awal bulan. Boleh jadi umur bulan itu berselang seling antara dua puluh sembilan dan tiga puluh hari. Atau bisa jadi umur bulan itu berturut-turut dua puluh sembilan atau berturut-turut tiga puluh hari. Semua ini bergantung pada peredaran Bulan dan Bumi yang sebenarnya; posisi hilal pada awal bulan tersebut (Azhari, 2004, 30-31)
Sistem ini tentu saja berbeda dengan penetapan kalender secara urfi. Dalam sistem penetapan kalender Urfi, bulan Ramadan sebagai bulan kesembilan (ganjil) selamanya akan berumur tiga puluh hari. Pada hal dalam kenyataannya tidak selalu seperti itu (Anwar, pdf – Adobe Reader: 8).
2. Permulaan Hari
Dalam kalender hijriah, sebuah hari/tanggal dimulai ketika terbenamnya matahari setiap harinya. Penentuan awal bulan; bulan baru ditandai dengan munculnya hilal di ufuk Barat waktu Magrib setelah terjadinya konjungsi atau ijtimak. Ini berdasarkan firman Allah: Mereka bertanya kepadamu tentang bulan sabit. Katakanlah: “Bulan sabit itu adalah tanda-tanda waktu bagi manusia dan (bagi ibadat) haji”… QS al-Baqarah/ 2 ayat 189
Ketika masuknya waktu Magrib berarti telah memasuki hari yang baru; terjadinya pergantian tanggal dan sekaligus meninggalkan hari yang sebelumnya.
Dalam ilmu astronomi, pergantian atau permulaan hari berlangsung saat posisi Matahari berkulminasi bawah, yakni pada pukul 24.00 atau pukul 12.00 malam. Ini yang dijadikan patokan dalam kalender yang berbasiskan peredaran Matahari (Solar Calendar). Sementara itu pergantian atau permulaan hari dalam penanggalan Islam dalam penentuan awal bulan Kamariah adalah saat terbenamnya Matahari (Fathurohman, 2004: 114-115).
3. New Month (Bulan Baru)
Dalam penentuan telah masuknya bulan baru atau awal bulan Kamariah terdapat perbedaan ahli hisab, di antaranya yang berpendapat bahwa awal bulan baru itu ditentukan oleh terjadinya ijtimak sedangkan yang lain mendasarkannya pada posisi hilal.
Kelompok yang berpegang pada sistem ijtimak menetapkan jika ijtimak terjadi sebelum Matahari terbenam, maka sejak Matahari terbenam itulah awal bulan baru sudah mulai masuk. Mereka sama sekali tidak mempermasalahkan hilal dapat dirukyah atau tidak.
Sedangkan kelompok yang berpegang pada posisi hilal menetapkan jika pada saat Matahari terbenam posisi hilal sudah berada di atas ufuk, maka sejak Matahari terbenam itulah perhitungan bulan baru dimulai (BHR, 1981: 99). Keduanya sama dalam penentuan awal masuknya bulan Kamariah, yakni pada saat Matahari terbenam. Namun keduanya berbeda dalam menetapkan kedudukan Bulan di atas ufuk. Aliran ijtimak qabl ghurub sama sekali tidak mempertimbangkan dan memperhitungkan kedudukan hilal di atas ufuk pada saat sunset.Sebaliknya kelompok yang berpegang pada posisi hilal saat sunset menyatakan apabila hilal sudah berada di atas ufuk itulah pertanda awal masuknya bulan baru. Bila hilal belum wujud berarti hari itu merupakan hari terakhir dari bulan yang sedang berlangsung (Azhari, 2007: 109).
Selanjutnya kedua kelompok ini masing-masingnya terbagi lagi menjadi kelompok-kelompok yang lebih kecil. Perbedaan ini disebabkan atau dikaitkan dengan fenomena-fenomena yang terdapat di sekitar peristiwa ijtimak dan ghurub asy-syams. Dan dalam perkembangan wacana dalam penetapan awal bulan Kamariah, kelompok yang berpegang pada posisi hilal inilah yang lebih mendominasi. Akan dibahas tentang kelompok yang berpedoman pada wujudul hilal dan kelompok yang berpedoman pada imkanu rukyah dalam penentuan awal bulan. Keduanya merupakan bagian dari mereka yang berpegang pada posisi hilal dan memiliki standar atau patokan yang berbeda.
Mereka yang berpedoman pada wujudul hilal menyatakan bahwa pedoman masuknya awal bulan adalah telah terjadi ijtimak sebelum terbenam Matahari dan pada saat sunset itu hilal telah wujud di atas ufuk. Sementara itu mereka yang berpedoman pada imkanu rukyah menyatakan bahwa patokan masuknya awal bulan adalah telah ijtimak terjadi sebelum terbenam Matahari dan pada saat sunset itu hilal telah berada di atas ufuk pada ketinggian yang memungkinkan untuk dirukyah.
4. Hilal
Hilal (bulan sabit pertama yang bisa diamati setelah konjungsi) digunakan sebagai penentu waktu ibadah. Perubahan yang jelas dari hari ke hari menyebabkan bulan dijadikan penentu waktu ibadah yang baik. Nampaknya karena alasan kemudahan dalam penentuan awal bulan dan kemudahan dalam mengenali tanggal dari perubahan bentuk (fase) bulan inilah kelebihan tahun Kamariah. Ini berbeda dengan kalender Syamsiah (kalender matahari) yang menekankan pada keajegan (konsistensi) terhadap perubahan musim, tanpa memperhatikan tanda perubahan hariannya.
Penting artinya perhitungan posisi hilal ini. Karena perhitungan posisi hilal terkait dengan penentuan awal bulan (new month). Jika hilal telah wujud di atas ufuk menurut kriteria sebagian kelompok atau ketinggian hilal telah memenuhi kriteria visibilitas untuk dirukyah (imkanu rukyah) menurut sebagian kelompok yang lain, maka esok harinya adalah tanggal satu bulan yang baru.
Berdasarkan klasifikasi metode Hisab dalam forum seminar sehari ilmu Falak tanggal 27 April 1997 di Tugu, Bogor, Jawa Barat di atas, maka kitab Sullam an-Nayyiran karya Muhammad Manshur bin Abdul Hamid bin Muhammad Damiri dan Fath ar-Rauf al-Mannan karya Abu Hamdan Abdul Jalil adalah tergolong hisab Hakiki Taqribi yang tingkat akurasinya rendah. Karena kitab ini basis data yang dijadikan acuannya adalah Zeij (tabel astronomi) Ulugh Beik (w. 1449 M) dan dalam pelaksanaan pengamatannya berdasarkan teori Geosentrisnya Ptolomeus. Secara ilmiah teori ini telah gugur. Kenyataannya hasil perhitungannya itu tidak didukung oleh argumentasi-argumentasi ilmiah sebagai pengungkapan data, fakta, dan kenyataannya dalam praktek di lapangan. Dengan kata lain hasil perhitungannya terkadang berbeda dengan kenyataan yang ditemui di lapangan ketika observasi rukyatul hilal dilakukan.
Metode yang masuk kategori hisab Hakiki Tahqiqi antara lain kitab al-Khulashah al-Wafiyah karya Zubair Umar al-Jailani, Almanak Menara Kudus karya Turaikhan Adjhuri, Nur al-Anwar karya Noor Ahmad SS Jepara, al-Maksuf karya Ahmad Soleh Mahmud Jauhari Cirebon, Ittifaq Dzat al-Bain karya Muhammad Zuber Abdul Abdul Karim Gresik, Hisab Hakiki karya K Wardan Dipo Ningrat, al-Qawa’id al-Falakiyah karya Abd al-Fatah as-Sayyid ath-Thufi al-Falaki, dan Badi’ah al-Mitsal karya Ma’shum Jombang.
Dan yang tergolong metode hisab Hakiki Kontemporer antara lain: metode al-Mawaqit karya Khafid, Ephimeris Departemen Agama, al-Falakiyah karya Sriyatin Shadiq. Metode hisab Hakiki Kontemporer yang memiliki tingkat akurasi tinggi karena telah berbasiskan ilmu Astronomi. Metode dalam melakukan perhitungannya telah melakukan koreksi yang banyak dan menyajikan data-data yang lengkap untuk keperluan rukyatul hilal.
Badan Hisab Rukyat (BHR): Upaya Penyatuan Penentuan Awal Bulan Kamariah di Indonesia
Departemen Agama Republik Indonesia didirikan tanggal 3 Januari 1946. Setelah berdirinya Depag, persoalan yang terkait dengan libur Peringatan Hari Besar Islam (PHBI) dan penetapan awal Ramadan, Syawal, dan Zulhijah diserahkan dan menjadi kewenangannya. Ini berdasarkan Penetapan Pemerintah tahun 1946 No.2/ Um, 7/Um, 9/Um jo Keputusan Presiden No. 25 tahun 1967, No. 148 tahun 1968 dan No.10 tahun 1971 (Azhari, 1999: 14).
Dalam wilayah etis-praktis sampai saat ini penetapan dan awal bulan Kamariah tersebut belum seragam. Bahkan perbedaan ini menjadi penyebab friksi dan mengusik ukhuwah islamiah di antara mereka (Azhari, 1999: 15). Persoalan inilah yang melatarbekangi pendirian sebuah Lembaga Hisab dan Rukyat.
Pada tanggal 16 Agustus 1972 dikeluarkan surat Keputusan Mentri Agama no.76 tahun 1972 tentang Pembentukan Badan Hisab dan Rukyat Departemen Agama. Adapun diktumnya sebagai berikut:
1. Membentuk Badan Hisab dan Rukyat Departemen Agama.
2. Tugas Badan Hisab dan Rukyat yang termuat dalam dictum pertama ialah memberikan saran-saran kepada Mentri Agama dalam penentuan permulaan tanggal bulan-bulan Kamariah.
3. Kepengurusan dari Badan Hisab dan Rukyat tersebut terdiri dari: ketua, wakil ketua, sekretaris, anggota-anggota tetap dan anggota tersebar (associate members).
4. Anggota-anggota tetap tersebut merupakan pengurus harian yang menangani mmasalah sehari-hari, sedangkan anggota tersebar bersidang dalam waktu-waktu tertentu menurut keperluan.
5. Anggota-anggota tersebar diangkat dengan keputusan tersendiri oleh Dirjen Bimas Islam.
6. Badan Hisab dan Rukyat tersebut dalam melakukan tugasnya bertanggung jawab kepada Direktur Peradilan Agama.
7. Kepada ketua, wakil ketua, sekretaris, dan anggota-anggota diberikan honorarium menurut peraturan yang berlaku.
8. Segala pengeluaran dan biaya-biaya dari Badan Hisab dan Rukyat tersebut dibebankan kepada anggaran dan belanja Departemen Agama mata anggaran 18.1.1241 dan untuk tahun-tahun berikutnya mata anggaran yang selaras untuk itu.
9. Keputusan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.
Selanjutnya dengan Surat Keputusan No. 77 tahun 1972 tanggal 16 Agustus 1972 memutuskan susunan personalian Badan Hisab dan Rukyat Departemen Agama sebagai berikut:
Sa’adoeddin Djambek, Jakarta sebagai ketua merangkap anggota, Wasit Aulawi MA, Jakarta sebagai wakil ketua merangkap anggota, dan Drs Djabir Manshur, Jakarta sebagai sekretaris merangkap anggota. Adapun anggotanya adalah: ZA Noeh, Jakarta, Drs Susanto LMC, Jakarta, Drs Santoso, Jakarta, Rodi Saleh, Jakarta, Djunaidi, Jakarta, Kapten Laut Muhadji, Jakarta, Drs Peunoh Dali, Jakarta, dan Syarifuuin BA, Jakarta.
Adapun anggota tersebar diserahkan penyrlesaiannya oleh Direktur Jendral Bimas Islam. Dirjen Bimas Islam dengan surat keputusannya No. D.I/96/P/1973 tanggal 28 Juni 1973 telah menetapkan susunan anggota tersebar Badan Hisab dan Rukyat Departemen Agama sebagai berikut: KH Muchtar Jakarta, KH Turaichan Adjhuri Kudus, K.R.B Tang Soban Sukabumi, KH Ali Yafi Ujung Pandang, KH A Djalil Kudus, KH Wardan Yogyakarta, Drs Adb Rachim Yogyakata, Ir Basit Wachit Yogyakarta, Ir Muchlas Hamidi Yogyakarta, H Aslam Z Yogyakarta, H Bidran Hadi Yogyakarta, Drs Bambang Hidayat Bandung/ITB, Ir Hamran Wachid Bandung/ITB, KH O.K.A Azis Jakarta, Ust Ali Ghozali Cianjur, Banadji Aqil Jakarta, dan Kyiai Zuhdi Usman Nganjuk.
Tujuan Pendirian Badan Hisab Rukyah adalah mengupayakan unifikasi dalam menentukan awal bulan Kamariah di Indonesia; terutama awal Ramadan, Syawal, dan Zulhijah. Namun dalam wilayah etik praktis belum bisa terwujud. Menurut Susikanan Azhari (1999: 19-20): perbedaan tersebut tidak hanya tarik menarik antara mereka yang berpedoman kepada hisab ataupun mereka yang menggunakan rukyat. Akan tetapi problem intern dari masing-masing kalangan tersebut. Kajian hisab misalnya, selama ini lebih bercorak paktis (practical guidance) dan kian melupakan wilayah teoritis-filosofis.
Kehadiran Badan Hisab dan Rukyat merupakan wadah bagi pemikiran hisab dan rukyat di Indonesia. Akan tetapi menurut Susiknan Azhari (1999: 20): dalam perjalanannya badan Hisab dan Rukyat terkungkung oleh rutinitas dan lebih bercorak bayani ketimbang burhani. Sudah saatnya Badan Hisab dan Rukyat mengembangkan wilayah teoritis dan filosofis.
Dalam hal ini patut direnungkan pernyataan KH Syukri Ghazali sebagaimana yang dikutip oleh Susiknan Azhari (1999: 21): agar Badan Hisab dan Rukyat Departemen Agama memperhatikan masyarakat Islam Indonesia. Bila masyarakat dipaksa menganut suatu pendapat sebelum ada titik temu dari berbagai pendapat, maka usaha untuk mempersatukan pendapat akan mengalami kegagalan.
Momen-Momen Bagi Kajian Ilmu Falak di Indonesia
Ada beberapa momen penting bagi kajian ilmu Falak di Indonesia. Momen-momen ini dianggap memiliki peranan yang signifikan dalam mengaktualkan kajian ilmu Falak. Di antara momen itu adalah:
KH Ahmad Dahlan
1. Perubahan arah kiblat masjid keraton Jogjakarta oleh KH Ahmad Dahlan.
Nama kecil KH Ahmad Dahlan adalah Muhammad Darwis (ada literatur yang menulis Darwisy), dilahirkan di Kampung Kauman Yogyakarta pada tahun 1868 Masehi bertepatan dengan tahun 1285 H. (http://pakarfisika.blogspot.com/2007/05/koreksi-arah-kiblat.html)
Ia adalah anak seorang kyai tradisional yaitu K.H. Abu Bakar bin Kyai Sulaiman, seorang khatib di Masjid Sultan di kota Yogyakarta. Ibunya Siti Aminah adalah anak Haji Ibrahim, seorang penghulu. Ahmad Dahlan adalah anak keempat dari tujuh bersaudara (http://peaceman.multiply.com/journal).
Ia lah yang meluruskan Arah Kiblat Masjid Agung Yogyakarta pada tahun 1897 M/1315 H. Pada saat itu masjid Agung dan masjid-masjid lainnya, letaknya ke barat lurus, tidak tepat menuju arah kiblat. Sebagai ulama yang menimba ilmu bertahun-tahun di Mekah, Dahlan mengemban amanat mengoreksi kekeliruan. Pada saat itu masjid Agung dan masjid-masjid lainnya, letaknya ke barat lurus, tidak tepat menuju arah kiblat (http://pakarfisika.blogspot.com/2007/05/koreksi-arah-kiblat.html).
Dengan berbekal pengetahuan ilmu Falak atau ilmu Hisab yang dipelajari melalui K.H. Dahlan (Semarang), Kyai Termas (Jawa Timur), Kyai Shaleh Darat (Semarang), Syekh Muhammad Djamil Djambek, dan Syekh Ahmad Khatib Minangkabau, Dahlan menghitung arah kiblat pada setiap masjid. Dahlan dicatat sebagai pelopor pembetulan arah kiblat dari semua surau dan masjid di Nusantara. (http://www.ilmufalak.or.id).
Setelah “tragedi kiblat” di Masjid Agung, ia pun mendirikan organisasi Muhammadiyah. Melalui organisasi Muhammadiyah ia mendobrak kekakuan tradisi yang memasung pemikiran Islam.
Ia mendirikan organisasi Muhammadiyah. Melalui organisasi Muhammadiyah ia mendobrak kekakuan tradisi yang memasung pemikiran Islam. Di awal kiprahnya, ia kerap mendapat rintangan, bahkan dicap hendak mendirikan agama baru. (http://www.ilmufalak.or.id).
KH Turaichan Adjhuri
2. KH Turaichan Adjhuri yang menyaksikan peristiwa gerhana matahari di kala pemerintah melarang hal tersebut.
Mbah Tur (panggilan akrab KH. Turaichan), semasa kecil menghabiskan waktunya untuk belajar, mengaji dan muthola’ah Kitab. Ia belajar Falak secara atodidak. Tapi ketika menemui kemusykilan, ia berkonsultasi dengan KH. Abdul Djalil (gurunya) (http://www.arwaniyyah.com).
Mbah Tur dalam ilmu falak tak dapat diragukan lagi kepiawaiannya, mulai dari penentuan dari awal bulan Hijriah, adanya gerhana dan dalam penerbitan almanak yakni Kalender Menara Kudus yang sampai saat ini masih berjalan dan dimanfaatkan oleh khalayak ramai, tak hanya msyarakat Kudus, bahkan sampai ke penjuru tanah air (http://www.arwaniyyah.com). Perhitungan itu umumnya dipakai oleh Nahdlatul Ulama. Penyusunan Kalender Menara Kudus saat ini diteruskan putranya, Sirril Wafa (http://www.wawasandigital.com).
Turaikhan disebut-sebut sebagai Galileo Islam Indonesia. Ia menjadi duri bagi stabilitas pemerintah. Ia pernah diadili pada 1990 karena menentukan waktu Idul Fitri yang berbeda dari Pemerintah. Sebagian kalangan masyarakat yang menggunakan keputusannya dan meninggalkan keputusan pemerintah. Ia juga menentang maklumat pemerintah yang menyerukan agar masyarakat bersembunyi di rumah-rumah ketika gerhana matahari total pada tahun 1983 dengan menganjurkan umat melihat dan mendirikan salat gerhana (http://blogcasa.wordpress.com).
Kisah Turaikhan adalah kisah kecil dari pembangkangan kaum astronom dalam menghitung waktu. Kisah besarnya adalah Galileo yang terpenjara di Kota Arcetri, Italia, pada 1632 karena menebar mazab heliosentrisme-bahwa matahari adalah pusat tata surya-seperti ditulisnya dalam Script Dialogue. Ia subversif terhadap doktrin gereja di bawah otoritas Paus Urbanus yang geosentrisme. Jika Galileo penyokong Copernicus, Turaikhan adalah penyokong Syekh Husein Zaid al-Misra, pengarang kitab al-Mathla’ as-Sa’id dari Mesir yang banyak memengaruhi pemikirannya (http://blogcasa.wordpress.com).
Di antara bentuk pengakuan atas ketingggian keilmuannya dibidang ilmu Falak, oleh pemerintah ia diangkat sebagai anggota Badan Hisab dan Rukyat Depag RI.
3.Kisah “Kecelakaan” Ilmu Falak Secara Akademik
Secara akademik, ilmu Falak pernah eksit dari kurikulum PTAI. Mata kuliah ilmu Falak keluar dari Kurikulum Nasional PTAI tahun 1995. Hal ini sangat ironis, ilmu Falak dianggap tidak lagi penting untuk menjadi salah satu ilmu yang menjadi kompetensi para lulusan PTAI terutama fakultas Syari’ah. Pada satu sisi ilmu Falak mulai terabaikan tetapi di sisi lain pemikiran hisab rukyat pada saat bersamaan mulai berkembang dengan munculnya ide pembuatan teleskop rukyat. Padahal dari lembaga inilah diharapkan muncul dan berkembangnya pemikiran ilmu Falak atau hisab rukyat yang komprehensif dan filosofis. Bahkan ide perubahan Instutut Agama Islam Negeri (IAIN) menjadi Universitas Islam Negeri (UIN) adalah untuk melihat kontribusi Islam kepada ilmu pengetahuan sehingga dikotomi pemisahan antara ilmu umum dan ilmu agama akan dapat dieliminir (Azhari, 1990: 20).
Kini telah berhebus angin yang menyejukkan bagi perkembangan ilmu Falak di Indonesia. Misalnya didirikannya prodi ilmu Falak di IAIN Walisongo pada tahun 2007 dan untuk Strata 2 pada tahun 2009. Adapun Strata 3 baru setingkat konsentrasi dibuka pada tahun 2008.
Seiring perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, di internetpun banyak dijumpai blog dan webset yang menyajikan tentang ilmu Falak. Banyaknya interaksi yang terjadi seputar permasalahan dan problematika ilmu Falak terutama masalah-masalah yang ditemui di tengah-tengah masyarakat, adalah perkembangan yang positif. Hal yang akan menggairahkan perkembangan ilmu falak pada masa-masa yang akan datang.
4.Hasil Penelitian lembaga Rukyatul Hilal Indonesia (RHI) tentang banyaknya arah kiblat masjid di Jogjakarta yang melenceng.
Beberapa laporan dari Arab Saudi menyebutkan, sekitar 200 masjid di kota Mekah tidak menghadap ke arah kiblat. Surat kabar Saudi Gazette melaporkan, orang-orang yang melihat ke bawah dari atas gedung-gedung tinggi yang baru di Mekah menemukan, mihrab di banyak masjid tua Mekah tidak mengarah langsung ke Ka’bah. Saat menunaikan salat, warga Muslim sedapat mungkin menghadap ke Ka’bah, bahkan kalau diperlukan, bisa menggunakan kompas khusus untuk mencari arah kiblat itu (http://blogcasa.wordpress.com/).
Wartawan BBC, Sebastian Usher, mengatakan, pihak berwenang belakangan melakukan pembangunan kembali kawasan di dan sekitar al-Masjid al-Haram. Namun, masjid-masjid lama di Mekah tetap dipertahankan keberadaannya. Kini bila dilihat dari gedung-gedung tinggi yang baru, sejumlah warga menemukan lokasi mihrab di sebagian masjid tersebut tidak tepat arah kiblatnya. (http://blogcasa.wordpress.com/).
Jika memang ini benar adanya, problem arah kiblat ternyata bukan cuma hanya di Indonesia saja tapi mungkin meliputi negara-negara Islam lainnya. Untuk kasus Indonesia, di Jawa tengah misalnya, seperti dituliskan Ahmad Izzudin, 70 % masjid yang ada memiliki arah kiblat yang tidak tepat (http://blogcasa.wordpress.com). Masalah yang penting selanjutnya setelah kita melakukan pengecekan arah kibalat masjid dan musala di sekitar kita adalah sosialisasi. Ibarat mengambil rambut dalam tepung. Rambutnya dapat dikeluarkan dan tepungnya tidak tumpah. Penting kiranya dilakukan pendekatan persuasif dan pemberian pemahaman tentang permasalahan ini secara komprehensif sebelum melangkah lebih lanjut. Penyempurnaan arah kiblat bukan berarti adanya perubahan arah kiblat. Sebenarnya arah kiblat tidak berubah. Perlu penyempurnan atau pemeriksaan ulang arah kiblat masjid dan musala di sekitar kita.
Tantangannya, bagaimana melakukan pengukuran dengan benar di lapangan, menyampaikan hasil-hasilnya kepada masyarakat dan sekaligus mengedukasi publik agar tidak terjadi situasi di mana ada pihak yang merasa “tersakiti”, yang terjadi semata-mata hanya karena ketidakpahaman atas duduk perkara yang sebenarnya (http://blogcasa.wordpress.com).
5. Majalah Qiblati yang menggugat jadwal awal waktu salat Subuh yang ditetapkan Pemerintah lebih dahulu dari yang seharusnya.
Artikel dalam majalah Qiblati yang berjudul, “Salah Kaprah Waktu Subuh: Fajar Kazib Dan Fajar Shadiq” dalam Majalah Qiblati Edisi 8 Volume 4, “Salah Kaprah Waktu Subuh Memajukan Waktu Subuh Adalah Bid’ah Kuno” dalam Majalah Qiblati Edisi 9 Volume 4, dan “Salah Kaprah Waktu Subuh Kesaksian Dan Fatwa Para Ulama”, dalam Majalah Qiblati Edisi 10 Volume 4 tulisan Mamduh Farhan al-Buhairi telah mengagetkan umat Islam Indonesia khususnya. Dalam tulisannya ditulis bahwa waktu salat Subuh yang kita gunakan selama ini lebih cepat dari yang seharusnya—bahkan sampai di atas dua puluh menit. Sehingga menurutnya bahwa salat Subuh yang kita laksanakan selama ini dilaksanakan sebelum masuknya awal waktu salat Subuh yang seharusnya (Mamduh, Salah Kaprah Waktu Subuh: Fajar Kazib Dan Fajar Shadiq, “Salah Kaprah Waktu Subuh Memajukan Waktu Subuh Adalah Bid’ah Kuno” dan “Salah Kaprah Waktu Subuh Kesaksian Dan Fatwa Para Ulama”, http://id.qiblati.com).
Setelah penerbitan majalah Qiblati yang mempertanyakan tentang kebenaran awal waktu Subuh yang dikeluarkan Departemen Agama dan dijadikan pedoman oleh umat Islam selama ini, timbullah kegoncangan. Masyarakat mulai goncang, mereka mulai mempertanyaan keabsahan pedoman penentuan awal waktu Subuh yang mereka gunakan selama ini.
Mereka membahasnya lewat forum-forum diskusi keislaman di masjid-masjid bahkan juga di internet. Begitu banyak tanggapan yang muncul tentang hal ini. Tanggapan yang sebagiannya alih-alih memberikan pencerahan terhadap masyarakat malah justru membuat mereka bertambah bingung.
Dalam menyikapi hal ini umatpun terbelah. Sebagian pengurus/ta’mir masjid mengambil jalan tengah menurut mereka sendiri. Menurut mereka azan tetap dikumandangkan sesuai dengan jadwal yang ada (jadwal yang dikeluarkan oleh Departemen Agama, namun pelaksanaan salat Subuh dimundurkan waktunya dari biasanya.
Yang lain malah melangkah lebih jauh lagi. Mereka mengundurkan waktu pengumandangan azan sebagai pertanda masuknya awal waktu Subuh. Sehingga tidak heran bila dalam keseharian, kita mendapati dalam pengumandangan azan Subuh ada masjid-masjid yang baru mengumandangkan azan di saat masjid-masjid yang lain telah selesai melaksanakan salat Subuh berjamaah.
Namun mayoritas mereka masih menggunakan jadwal yang dikeluarkan oleh Departemen Agama. Mereka tidak mau merubah apa yang diyakini selama ini tentang penentuan awal waktu salat Subuh sampai terwujudnya kesepatan para ahli atau pemerintah dalam hal ini Departemen Agama mengumumkan perubahannya.Kondisi ini tentunya memerlukan penelitian lebih lanjut dan mendalam.
Catatan Akhir
Berikut ini beberapa catatan tentang sejarah perkembangan ilmu Falak di Indonesia:
1. Kajian Ilmu Falak: Antara Sains dan Masalah Ijtihadiah
Sejarah perkembangan ilmu Falak di Indonesia bersifat dinamis. Saat dunia Islam memasuki priode modernnya pada awal abad ke-20, ilmu Falak pun bersentuhan dengan kemoderenan; ilmu pengetahuan yang berasal dari Barat.
Teori-teori lama yang sudah out of date mulai ditinggalkan digantikan dengan penemuan baru yang lebih sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Ilmu Falak sebagai bagian sains yang berkembang di kalangan umat Islam mengalami hal sama.
Dalam perhitungan awal bulan Kamariah misalnya, sebelum abad ke-20, di dunia Islam umumnya berkembang metode hisab yang belakangan diidentifikasi sebagai metode hisab Hakiki Taqribi. Perhitungannya masih berpatokan pada asumsi Bumi sebagai pusat peredaran Bulan dan Matahari; yang disebut dengan Geosentris.
Setelah Nicolas Copernicus menemukan teori Heliosentris, bahwa Mataharilah pusat tata surya kita (bukan Bumi sebagaimana yang diyakini sebelumnya). Penemuan ini tentu saja akan berpengaruh terhadap metode dan rumus ilmu Falak atau astronomi yang selama ini digunakan. Pembaharuan yang digulirkan inipun kemudian sampai ke Indonesia kira-kira pada pertengahan abad ke-20. Pelopornya adalah dua buah kitab yakni kitab Mathla’ as-Sa’id fi Hisab al-Kawakib ‘ala Rashd al-Jadid karangan Husen Zaid al-Mishra dan al-Manahij al-Hamidiyah karangan Abd al-Hamid Mursy Ghais al-Falaki asy-Syafi’i. Kedua kitab tersebut oleh mereka yang menunaikan ibadah haji dan lalu menyempatkan diri untuk belajar di tanah suci. Metode baru ini dikemudian hari disebut dengan metode Hakiki Tahqiqi.
Perkembangan ilmu Falak di Indonesia tidak selalu bersifat linier antara perkembangan sains dengan realita yang terjadi pada masa itu. Dengan asumsi bahwa pada pertengahan abad ke-20 metode hisab Hakiki Tahqiqi akan berkembang dengan pesat menggantikan teori lama yang telah gugur secara ilmiah; dan metode hisab Hakiki Taqribi mulai ditinggalkan orang. Tapi kenyataannya tidak seperti demikian. Metode hisab Hakiki Taqribi tetap memiliki pengikut fanatiknya bahkan sampai dengan sekarang ini. Misalnya menurut mengklasifikasian yang dilakukan Departemen Agama dinyatakan bahwa Perhitungan kitab Sullam an-Nayyirain ini termasuk hakiki taqribi, tingkat akurasi rendah dan terkadang hasil perhitungannya berbeda dengan kenyataan di lapangan, anehnya lagi eksistensinya masih diakui oleh Departemen Agama. Karena hasil perhitungannya masih digunakan sebagai pertimbangan sidang penetapan awal bulan Kamariah Departemen Agama. Untuk memahami permasalahan ini, tentu diperlukan penjelasan, argumentasi, dan pendapat lebih mendalam para ahli hisab rukyah di balik eksisnya perhitungan awal bulan Kamariah menggunakan sistem hisab rukyah kitab Sullam an-Nayyirain ini[4]. Menurut penganut sistem ini, metode Sullam an-Nayyirain adalah hasil ijtihad Manshur al-Batawi; al-ijtihad la yanqudhu bi ijtihad.
2. Prolematika Pengklasifikasian Metode Hisab
Sebagai kajian yang berkaitan dengan persoalan aliran dan pola pemikiran (paradigma), perlu kira ditinjau aliran hisab yang ada. Dalam pengklasifikasian ini setidaknya terdapat dua permasalahan:
a. Nama aliran yang digunakan cukup beragam, yang biasa digunakan antara lain urfi, hisab hakiki, hisab imakanur rukyat, dan hisab astronomi.
b. Masalah lain yang timbul dari pengklasifikasian tersebut adalah perbedaan-perbedaan definisi. Akibatnya timbul penilaian yang beragam terhadap masing-masing aliran (Azhari, 1999: 22-23) misalnya tingkat keakurasian sistem hisab dari masing-masing pembagian tersebut. Depag menggunakan pembagian hisab Urfi dan Hisab Hakiki. Lalu Hisab Hakiki diklasifikasikan menjadi 1). Hisab Hakiki Taqribi yang dinyatakan tingkat akurasinya rendah, 2). Hisab Hakiki Tahqiqi yang tingkat akurasinya sedang, dan 3). Hisab Hakiki Kontemporer yang tikat akurasinya tinggi.
Perlu juga kiranya permasalahan ini didekati dengan pendekatan historical knowledge (latar belakang perkembangan ilmu pengetahuan). Pendekatan ini dalam kerangka memposisikan suatu metode hisab secara porposional dalam pemetaan ilmu Falak di Indonesia. Sehingga kita akan memposisikannya sesuai dengan perkembangan ilmu Falak pada saat itu dan menjawab persoalan umat pada masanya. Bukan secara serta menyatakan penyejajaran ataupun hanya melihat ketertinggalannya dari perkembangan ilmu Hisab Hakiki Kontemporer.
Penutup
Demikianlah sekelumit sejarah perkembangan ilmu Falak di Indonesia. semenjak awalnya perkembangannya, masalah penentuan awal bulan Kamariah yang mendominasi pembahasan hisab rukyat. Sampai saat ini masalah ini selalu dianggap sebagai masalah yang using namun senantiasa up to date. Mengingat belum terwujudnya kesepakatan kriteria hilal dalam penenentuan awal bulan Kamariah. Inilah tugas berat dari BHR dan para ahli Falak di Indonesia.
Namun seiring perkembangan ilmu Falak yang bersentuhan dengan perkembangan ilmu pengetahuan, bahasan ilmu Falak lainnya juga mengalami dinamika. Perkembngan yang mutakhir, Hasil Penelitian lembaga Rukyatul Hilal Indonesia (RHI) tentang banyaknya arah kiblat masjid di Jogjakarta yang melenceng dan Majalah Qiblati yang menggugat jadwal awal waktu salat Subuh yang ditetapkan Pemerintah lebih dahulu dari yang seharusnya. Turut mengaktualkan wacana ilmu Falak. Wa Allahu a’lamu bi ash-shawab
Daftar Pustaka
Anwar, Syamsul, Almanak Berdasarkan Hisab Urfi Kurang Sejalan Dengan Sunnah Nabi saw: Surat Terbuka Untuk Pak Darmis, Almanak_Hijriah.pdf – Adobe Reader
Azhari, Susiknan, 1999, Sa’adoeddin Djambek (1911-1977) dalam Sejarah Pemikiran Hisab Di Indonesia, Yogyakarta: Proyek PTA IAIN Sunan Kalijaga, 1998/1999
____________, 2001, Ilmu Falak Teori dan Praktek, Yogyakarta: Lazuari, Cet.ke-1
___________,2004, “Saadoeddin Djambek dan Hisab Awal Bulannya” dalam Depag RI, Hisab Rukyat dan Perbedaannya, Jakarta: Depag RI
____________, 2007, Ilmu Falak Perjumpaan Khazanah Islam dan Sains Modern, Yogyakarta: Suara Muhammadiyah, Cet. Ke-2
____________, 2008, Ensiklopedi Hidab Rukyat, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, Cet.ke-2
____________, Tokoh-Tokoh Falak di Indonesia: Saadoe’ddin Djambek, http://bimasislam.depag.go.id
____________ dan Ibnor Azli Ibrahim, Kalender Jawa Islam: Memadukan Tradisi dan Tuntutan Syar’i dalam Jurnal Asy-Syir’ah Vol. 42 No. I, 2008. 07-susiknan.pdf –Adobe Reader
BHR Depag RI, 1981, Almanak Hisab Rukyat, Jakarta: Depag RI
Buhairi, al-, Mamduh Farhan, Salah Kaprah Waktu Subuh: Fajar Kazib Dan Fajar Shadiq, Majalah Qiblati Edisi 8 Volume 4 , http://id.qiblati.com
____________, Salah Kaprah Waktu Subuh Memajukan Waktu Subuh Adalah Bid’ah Kuno, Majalah Qiblati Edisi 9 Volume 4, http://id.qiblati.com
____________, Salah Kaprah Waktu Subuh Kesaksian Dan Fatwa Para Ulama, dalam Majalah Qiblati Edisi 10 Volume 4, http://id.qiblati.com
Depag RI, Ditjen Binbaga Islam, 1990, Laporan Keputusan Musyawarah Hisab Rukyat, Jakarta: Depag RI
____________, 1992, Al-Qur’an dan Terjemahannya, Bandung: Gema Risalah Press
___________,1994/1995, Pedoman Penghitungan Awal Bulan Qamariyah, Jakarta: Depag RI
____________, 2004, Hisab Rukyat dan Perbedaannya, Jakarta:Depag RI
Djambek, Sa’adoeddin, 1976, Hisab Awal Bulan, Jakarta: Tinta Mas
Kalender Jawa, http://id.wikipedia.org
Fathurohman SW, Oman, 2004, “Saadoeddin Djambek dan Hisab Awal Bulannya” dalam Depag RI, Hisab Rukyat dan Perbedaannya, Jakarta: Depag RI
___________, “Saadoeddin Djambek dan Hisab Awal Bulannya” dalam Depag RI, Hisab Rukyat dan Perbedaannya, Jakarta: Depag RI, 2004
Izzuddin, Ahmad, 2007, Fiqh Hisab Rukyat Menyatukan NU dan Muhammadiyah dalam Penentuan Awal Ramadhan, Idul Fitri dan Idul Adha, Jakarta: Erlangga
___________, 2006, Ilmu Falak Praktis (Metode Hisab Rukyat Praktis dan Solusi Permasalahannya), Semarang: Komala Grafika
K.H. Ahmad Dahlan, http://www.ilmufalak.or.id/
K.H. Ahmad Dahlan: Reformis dan Pembaharu Ajaran Agama, http://peaceman.multiply.com/journal
Khazin, Muhyiddin, 2008, Ilmu Falak dalam Teori dan Praktek,Yogyakarta: Buana Pustaka, Cet.ke-3
____________, 2004,Hisab Awal Bulan Sistem Nurul Anwar (Kajian Astronomis) dalam Depag RI, Hisab Rukyat dan Perbedaannya, Jakarta: Depag RI
KH. Turaichan Adjhuri Es Syarofi, http://www.arwaniyyah.com
Kontribusi Ulama Betawi Terhadap Ilmu Falak, hhtp://islamic-center.or.id
Murtadho, Moh, 2008, Ilmu Falak Praktis, Malang: UIN Malang Press, cet.ke1
Rachim, Abdur, 1983, Ilmu Falak, Yogyakarta: Liberty, Cet.ke-1
Saksono, Toto, 2007, Mengkompromikan Rukyat & Hisab, Jakarta: Amythas Publicita bekerja sama dengan Center for Islamic Studies
Shadiq, Sriyatin, 2008, Makalah Simulasi dan Metode Rukyatul Hilal, Pelatihan Hisab Rukyah Tingkat Nasional, Ponpes Setinggil, Kriyan Kalinyamatan Jepara pada tanggal 26-29 Desember 2008M/ 28 Zulhijjah- 1 Muharram 1430H
Sistem almanak Masjid Menara Kudus Awal Ramadan sama, Lebaran bisa beda, http://www.wawasandigital.com/
Taqwim Hijriyah, hhtp://afdacairo.blogspot.com
T. Djamaluddin, Rekonstruksi Kejadian Zaman Nabi Berdasarkan Hisab Konsistensi Historis-Astronomis Kalender Hijriyah, http: //t-djamaluddin.space.live.com
Tokoh Ilmu Falak: Ahmad Dahlan, K.H, http://pakarfisika.blogspot.com
Wawancara dengan Muhyiddin Khazin a, 28 Desember 2008
200 Masjid di Mekah Tidak Menghadap Kiblat, http://blogcasa.wordpress.com
[1]Jayusman, Dosen Fakultas Ushuluddin IAIN Raden Intan Lampung, http: //jayusmanfalak.blogspot.com dan email: jay_falak@yahoo.co.id
[2] Muhyiddin Khazin (2008: 28) memberikan penjelasan yang sedikit berbeda bahwa Sultan Agung memadukan penanggalan Hindu dan penanggalan Islam menjadi penanggalan Jawa Islam pada tahun 1043H/1633M. Masa kepemimpinan kerajaan Mataram dipegang oleh Sri Sultan Muhammad Sultan Agung Prabu Hayrayakusumo (1613-1643 M) inilah penanggalan Islam mulai dipekenalkan. Ia menetapkan penanggalan resmi kerajaan berdasarkan tahun Jawa Islam tersebut. Asimilasi penanggalan ini dilakukan dengan cara merubah pedoman pengambilan dari tahun berdasarkan peredaran Matahari menjadi berdasarkan peredaran bulan. Namun perhitungan tahunnya tetap dengan melanjutkan perhitungan Hindu sebelumnya.
[3] Cara menentukan suatu tahun itu termasuk tahun Kabisah atau basitah adalah dengan membagi tahun tersebut dengan angka 30. Jika sisanya termasuk deretan angka-angka pada syair di atas maka tahun tersebut termasuk tahun Kabisah, jika tidak maka termasuk tahun Basitah. Sebagai contoh tahun 1430 H, 1430: 30= 47 daur sisa 20. Bilangan 20 tidak termasuk tahun Kabisah, maka tahun 1430 H adalah tahun Basitah. Contoh yang lain adalah tahun 1431 daur sisa 21. Bilangan 21 termasuk tahun Kabisah. Sa’aduddin Djambek agak berbeda dalam penentuan tahun Kabisah ini, ia memasukkan tahun ke 16 sebagai tahun Kabisah dan tidak tahun yang ke 15.
[4] Muhyiddin Khazin (2008 a) menyatakan bahwa tetap dijadikannya kitab Sullam an-Nayyirain sebagai salah satu rujukan dalam penetapan awal bulan Kamariah adalah untuk mengakomodir anggota masyarakat (–jumlah mereka cukup banyak) yang berpedoman kepada kitab tersebut. Ia menambahkan bahwa pernah mengusulkan pada ahli waris pengarang kitab tersebut untuk melakukan perobahan agara perhitungannya akurat tetapi usulan ini ditolak oleh mereka. Biarkanlan kitab Sullam an-Nayyirain sebagaimana adanya.
(Sumber: http://kasmui.blog.com/2011/05/26/sejarah-perkembangan-ilmu-falak-di-indonesia/)
Langganan:
Postingan (Atom)