PRO HISAB
Hisab menurut bahasa adalah perhitungan. Para ulama menaruh perhatian pada teori hisab dalam menentukan awal dan akhir bulan Ramadhan, waktu shalat, arah kiblat dan gerhana bulan maupun gerhana matahari
Nabi muhammad SAW bersabda
عن ابن عمرعن رسول الله عليه وسلم قال اذارايتمو فصوموا واذا رايتموه فافطروا فان غم عليكم فقدروله (رواه البخاري ومسلم والنسائى وابن ماجه)
“Dari Ibnu Umar, dari rasulullah SAW sabdanya : Apabila kamu melihat bulan Ramadhan, hendaklah kamu berpuasa, dan apabila kamu melihat bulan syawal hendaklah kamu berbuka. Maka jika tertutup antara kamu dan tempat terbit bulan, maka hendaklah kamu kira-kirakan bulan itu.” (HR Bukhari Muslim Nasai dan Ibnu Majah)
Kata beberapa ulama, di antaranya Ibnu Syuraidi Mutarrif dan Ibnu Qutaibah, bahwa yang dimaksud dengan kira-kira ialah dihitung dengan hitungan ilmu Falak (ilmu bintang). [1] Firman Allah SWT QS Yunus: 5
“Dia-lah yang menjadikan matahari bersinar dan bulan bercahaya dan ditetapkan-Nya manzilah-manzilah (tempat-tempat) bagi perjalanan bulan itu, supaya kamu mengetahui bilangan tahun dan perhitungan (waktu). Allah tidak menciptakan yang demikian itu melainkan dengan hak. dia menjelaskan tanda-tanda (kebesaran-Nya) kepada orang-orang yang Mengetahui.”
Disamping itu ilmu Hisab telah banyak digunakan oleh umat Islam dalam menentukan waktu shalat lima waktu dalam bentuk jadwal shalat abadi yang disusun oleh para ahli hisab. Agama Islam telah menentukan waktu satu persatu dari shalat lima waktu sesuai dengan perubahan Alam yang diakibatkan perjalanan matahari tiap-tiap tahun seperti Shalat subuh ketika terbitnya fajar dll, dengan kemajuan ilmu pengetahuan maka para ulama ahli hisab dapat menyesuaikan waktu Shalat dengan jam yang dipakai oleh masyarakat (WIB) guna mempermudah untuk melakukan amalan ibadah shalat lima waktu.
Dengan adanya ilmu hisab ini para umat Islam tidak perlu repot-repot melihat matahari (rukyah) ketika akan menentukan waktu shalat tetapi cukup dengan melihat jadwal shalat (hisab) yang telah disusun oleh para ahli ilmu Falak.
Dengan uraian di atas maka sebagian ulama membolehkan penentuan awal bulan dengan menggunkan hisab dengan alasan, keduanya (Puasa dan Shalat) adalah sama-sama waktu ibadah, keduanya (Puasa dan Shalat) juga dihitung dengan ilmu falak yang sama-sama bertujuan untuk mencari persesuaian dengan waktu yang ditentukan oleh syara’
Oleh karena alasan-alasan di atas maka para ulama’ ahli fiqih sepakat bahwa untuk memastikan hari pertama dan terakhir bulan Ramadhan dapat dilakukan dengan dua cara, yakni melalui rukyah dan melalui hisab. [2] Hal ini di karenakan kedua metode ini mempunyai dasar yang kuat dan didukung dengan dalil yang sama-sama shahih.
KONTRA HISAB
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memberikan bimbingan dalam menentukan awal bulan Hijriyyah dalam hadits-haditsnya, di antaranya, yang berarti: “Dari Ibnu ‘Umar, bahwa Rasululloh Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan Romadhon, maka beliau mengatakan: ‘Janganlah kalian berpuasa sehingga kalian melihat hilal dan janganlah kalian berbuka (berhenti puasa dengan masuknya syawwal, -pent.) sehingga kalian melihatnya. Bila kalian tertutup oleh awan maka hitunglah’.” (HR: Al-Bukhari dan Muslim, Hadits Shohih)
Dan hadits yang semacam ini cukup banyak, baik dalam Shahih Al-Bukhari dan Muslim maupun yang lain. Kata-kata فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَاقْدُرُوا لَهُ (Bila kalian tertutup oleh awan maka hitunglah) menurut mayoritas ulama bermadzhab Hanbali, ini dimaksudkan untuk membedakan antara kondisi cerah dengan berawan. Sehingga didasarkannya hukum pada penglihatan hilal adalah ketika cuaca cerah, adapun mendung maka memiliki hukum yang lain. Menurut jumhur (mayoritas) ulama, artinya: “Lihatlah awal bulan dan genapkanlah menjadi 30 (hari).”
Adapun yang menguatkan penafsiran semacam ini adalah riwayat lain yang menegaskan apa yang sesungguhnya dimaksud. Yaitu sabda Nabi yang telah lalu (maka sempurnakan jumlah menjadi 30) dan riwayat yang semakna. Yang paling utama untuk menafsirkan hadits adalah dengan hadits juga. Bahkan Ad-Daruquthni meriwayatkan (hadits) serta menshahihkannya, juga Ibnu Khuzaimah dalam Shahih-nya dari hadits Aisyah, yang artinya: “Dahulu Rasululloh sangat menjaga Sya’ban, tidak sebagaimana pada bulan lainnya. Kemudian beliau puasa karena ru`yah bulan Romadhon. Jika tertutup awan, beliau menghitung (menggenapkan) 30 hari untuk selanjutnya berpuasa.” (Dinukil dari Fathul Bari karya Ibnu Hajar)
Oleh karenanya, penggunaan hisab bertentangan dengan Sunnah Nabi dan bertolak belakang dengan kemudahan yang diberikan oleh Islam.
Sebuah pertanyaan diajukan kepada Al-Lajnah Ad-Da`imah atau Dewan Fatwa dan Riset Ilmiah Saudi Arabia: Apakah boleh bagi seorang muslim untuk mendasarkan penentuan awal dan akhir puasa pada hisab ilmu falak, ataukah harus dengan ru`yah (melihat) hilal?
..
Jawabannya: …Alloh Subhanahu wa Ta’ala tidak membebani kita dalam menentukan awal bulan Qomariyah dengan sesuatu yang hanya diketahui segelintir orang, yaitu ilmu perbintangan atau hisab falak.
Padahal nash-nash Al-Kitab dan As-Sunnah yang ada telah menjelaskan, yaitu menjadikan ru`yah hilal dan menyaksikannya sebagai tanda awal puasa kaum muslimin di bulan Ramadhan dan berbuka dengan melihat hilal Syawal. Demikian juga dalam menetapkan Iedul Adha dan hari Arafah. Alloh Subhanahu wa Ta’ala berfirman, yang artinya: “…Maka barangsiapa di antara kalian menyaksikan bulan hendaknya berpuasa.” (QS: Al-Baqarah: 185)
Dan Alloh Subhanahu wa Ta’ala berfirman, yang artinya: “Mereka bertanya tentang hilal-hilal. Katakanlah, itu adalah waktu-waktu untuk manusia dan untuk haji.” (QS: Al-Baqarah: 189)
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, yang artinya: “Jika kalian melihatnya, maka puasalah kalian. Jika kalian melihatnya maka berbukalah kalian. Namun jika kalian terhalangi awan, sempurnakanlah menjadi 30.”
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjadikan tetapnya (awal) puasa dengan melihat hilal bulan Ramadhan dan berbuka (mengakihiri Ramadhan) dengan melihat hilal Syawal. Sama sekali Nabi tidak mengaitkannya dengan hisab bintang-bintang dan orbitnya (termasuk rembulan, -pent.). Yang demikian ini diamalkan sejak zaman Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, para Khulafa` Ar-Rasyidin, empat imam, dan tiga kurun yang Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam persaksikan keutamaan dan kebaikannya.
Oleh karena itu, menetapkan bulan-bulan Qomariyyah dengan merujuk ilmu bintang dalam memulai awal dan akhir ibadah tanpa ru`yah adalah bid’ah, yang tidak mengandung kebaikan serta tidak ada landasannya dalam syariat….” (Fatwa ini ditandatangani oleh Asy-Syaikh Abdurrazzaq Afifi, Asy-Syaikh Abdullah bin Mani’, dan Asy-Syaikh Abdullah bin Ghudayyan. Lihat Fatawa Ramadhan, 1/61)
Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullahu berkata: “Tentang hisab, tidak boleh beramal dengannya dan bersandar padanya.” (Fatawa Ramadhan, 1/62)
Tanya: Sebagian kaum muslimin di sejumlah negara, sengaja berpuasa tanpa menyandarkan pada ru`yah hilal dan merasa cukup dengan kalender. Apa hukumnya?
Asy-Syaikh Abdul ‘Aziz bin Baz menjawab: “Sesungguhnya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan kaum muslimin untuk (mereka berpuasa karena melihat hilal dan berbuka karena melihat hilal maka jika mereka tertutup olah awan hendaknya menyempurnakan jumlahnya menjadi 30) -Muttafaqun alaihi-
Asy-Syaikh Abdul ‘Aziz bin Baz menjawab: “Sesungguhnya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan kaum muslimin untuk (mereka berpuasa karena melihat hilal dan berbuka karena melihat hilal maka jika mereka tertutup olah awan hendaknya menyempurnakan jumlahnya menjadi 30) -Muttafaqun alaihi-
Dan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, yang artinya: “Kami adalah umat yang ummi, tidak menulis dan tidak menghitung. Bulan itu adalah demikian, demikian, dan demikian.” –beliau menggenggam ibu jarinya pada ketiga kalinya dan mengatakan–: “Bulan itu begini, begini, dan begini –serta mengisyaratkan dengan seluruh jemarinya–Beliau maksudkan dengan itu bahwa bulan itu bisa 29 atau 30 (hari). Dan telah disebutkan pula dalam Shahih Al-Bukhari dari Abu Hurairah bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, yang artinya: “Puasalah kalian karena melihatnya dan berbukalah karena melihatnya. Jika kalian tertutupi awan hendaknya menyempurnakan Sya’ban menjadi 30 (hari).”
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda, yang artinya: “Jangan kalian berpuasa sehingga melihat hilal atau menyempurnakan jumlah. Dan jangan kalian berbuka sehingga melihat hilal atau menyempurnakan jumlah.”
Masih banyak hadits-hadits dalam bab ini. Semuanya menunjukkan wajibnya beramal dengan ru`yah, atau menggenapkannya jika tidak memungkinkan ru`yah. Ini sekaligus menjelaskan tidak bolehnya bertumpu pada hisab dalam masalah tersebut.
Ibnu Taimiyyah telah menyebutkan ijma’ para ulama tentang larangan bersandar pada hisab dalam menentukan hilal-hilal. Dan inilah yang benar, tidak diragukan lagi. Alloh Subhanahu wa Ta’ala-lah yang memberi taufiq. (Fatawa Shiyam, hal. 5-6)
[1] Sulaiman Rasjid, Fiqh Islam, (Jakarta: Attahiriyah 1976), hlm. 219
[2] Dewan redaksi. Insiklopedi Islam, Jil.IV, (Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hoeve, 1994 ), Hlm. 180
Kesimpulan dan saran :
- Masalah Pro dan Kontra tentang Hisab adalah faktor keyakinan, jadi tidak ada yang salah dan tidak ada yang benar untuk masalah ini, semua punya landasan hukum sendiri-sendiri
- Bangsa Mesir dan Arab adalah penemu Aljabar, bahkan pada masa kuno perhitungan astronomi sudah sangat terkenal, tapi pada masa modern perhitungan astronomi dikuasai oleh bangsa barat yang non muslim
- Para Kontra Hisab, belum konsisten dalam masalah rukyah. Rukyah hendaknya dilaksanakan tiap bulan, bukan pada momen-momen tertentu saja dan kadang kala masih digunakannya hisab pada sholat lima waktu.
- Rukyah tidak akan dapat digunakan untuk menentukan waktu gerhana bulan dan gerhana matahari, padahal di situ ada sholat gerhana.
- Dengan berkembangnya teknologi, hisab hendaknya tidak dilakukan secara manual (tabel dan kalkulator) tapi penggunaan pemrograman komputer akan memperkecil nilai kesalahan.
- Rukyat dan Hisab bukan satu-satunya cara untuk mengetahui bulan. Penggunaan satelit akan membantu kedua paham tersebut.
- Kolaborasi antara Rukyat dan Hisab akan lebih baik jika hanya menggunakan paham itu sendiri-sendiri. Rukyat tiap bulan untuk memperbaiki perhitungan hisab. Perhitungan hisab dengan test kebenaran dengan rukyat.
- Tidak ada ilmu manusia (hisab) yang sempurna kecuali ilmu Tuhan, suatu teori yang saat ini dianggap paling bagus, kemungkinan suatu saat pasti akan terbantahkan jika ditemukan suatu teori yang lebih bagus.
- Memperkuat perhitungan hisab selain untuk ibadah umat muslim sendiri, juga akan memperkuat intelektual muslim sehingga menjadi terkenal seperti jaman dulu.
Demikian kesimpulan dan saran yang kuambil dari masalah pro dan kontra masalah hisab ini. Kesimpulan dan saran itu merupakan benar-benar dari pemikiran seorang yang tidak paham masalah dalil-dalil Al-Quran dan hadist yang ingin permasalahan pro kontra hisab ini segera berakhir dan bisa lebih diterapkan pada persaingan untuk menjadikan umat muslim lebih intelektual.
Semoga umat muslim lebih dikenal dengan aljabar dan teori-teori matematikanya dibanding dengan istilah teroris-nya oleh umat non muslim
amien…..
Tidak ada komentar:
Posting Komentar